InfOz pLu$

Mei 29, 2008

RUU Zakat Kebijakan Filantropi

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 2:31 am

Oleh :Erie Sudewo (Social Entrepreneur)Road discussion buku saya berjudul Politik ZISWAF yang digelar CID (Center Information and Development) di Jakarta, Padang, Pontianak, dan Bali mendulang dukungan kuat. Buku tersebut sarat dengan gagasan 10 tahun ke depan, justru saat zakat masih dikelola secara tradisional dan masyarakat masih dalam keawamannya.

Buku ini mengajari semua pihak, baik negara, lembaga zakat, masyarakat, dan donatur untuk menempatkan zakat sebagaimana seharusnya,” ujar Abdulllah Jawas, dosen FE Universitas Udayana. Namun, pro dan kontra terlecut saat RUU Zakat (alternatif pengganti UU 38 Tahun 1999) turut dibahas.

Persamaan buku Politik ZISWAF dan RUU Zakat, keduanya menawarkan penataan zakat. Bedanya terletak pada titik tolak yang implikasinya jadi meluas.

Pertama, sudut pandang yang berbeda akan memengaruhi kebijakan dan kinerja. Maka yang kedua, tujuan akhir pasti total berbeda. Inti buku Politik ZISWAF mencoba menjelaskan posisi dan peran masing-masing pihak. Inti RUU Zakat hendak menyatukan pengelolaan zakat dalam kebijakan Depag.

Apakah pengelolaan zakat memang harus di Depag?” tanya seorang peserta. “Pemerintah itu yang mana?” tanggap yang lain. “Kita tak boleh gegabah untuk tiba-tiba serahkan zakat pada bukan Depag,” seorang peserta mencoba menengahi.

Adu argumen pun menghangat. “Apakah Muslim yang shaleh-shaleh itu cuma ada di Depag?” Sergahan menghentak itu menghenyak suasana jadi hening.

Pranata keagamaan
Dalam RUU Zakat pasal pertimbangan ayat c dikatakan zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memerhatikan masyarakat yang kurang mampu. Ada dua soal berkait dengan pasal pertimbangan ini.

Pertama istilah pranata keagamaan. Istilah ini menimbulkan multitafsir. Di satu sisi perintah zakat yang berdimensi kemasyarakatan hendak diritualkan, seperti haji. Setuju atau tidak, bukan itu intinya. Soalnya diarahkan pada wewenang pengelolaan. Dengan istilah pranata keagamaan, bicara zakat jadi sah dan mutlak dikelola Depag, seperti haji. Ini pesan tersirat, tapi tegas maknanya.

Soal kedua berkait dengan memerhatikan masyarakat yang kurang mampu. Inilah jiwa filantropi, napasnya cuma memerhatikan. Konteks memerhatikan hanya sekadarnya.

Kemiskinan jadi soal kedua. Yang pertama adalah kebaikan dan suasana hati. Taste jadi pemandu selera. Padahal, dalam mengatasi kemiskinan, suasana hati mesti ditanggalkan.

Kemiskinan harus diatasi, wajib ditanggulangi sungguh-sungguh. Bukan tergantung pada suasana hati.

Strategi filantrofi
Napas RUU Zakat, masih kental denyut filantropinya. Ada beberapa ciri filantropi yang mesti disimak. Pertama, filantropi tak bisa memaksa sebab donasi selalu kembali pada keikhlasan donatur.

Zakat itu wajib, ikhlas atau tidak. Kedua landasan filantropi tergantung pada kenyamanan suasana hati.

Si miskin bertingkah, hati pun bergolak. Sebaik apa pun program, pasti tersisih karena berbeda taste. Ketiga suasana hati jadi pencerai-berai kekuatan zakat. Maka, keempat bukankah gegabah mengelola dana triliunan hanya dengan kebijakan filantropi. Karena inilah ciri kelima, filantropi terpasung pada kegiatannya bukan kebijakan.

Yang terjadi hingga hari ini, zakat dikemas dalam kiprah filantropi. Bertahun-tahun kemiskinan diatasi dengan konsep kedermawanan, hasilnya fakir miskin memassal dan makin akut. Tampaknya RUU Zakat justru kuat mengusung konsep kedermawanan.

Niatnya hendak menata zakat, tapi praktiknya filantropi. Dengan filantropi, terbukti kemiskinan tidak berubah. Jika dulu bagi-bagi sembako untuk seribu mustahik, dengan RUU Zakat disatukan jadi sejuta sembako. Skala bantuannya berubah, kemiskinannya tak berubah.

Strategi fiskal
Menurut Ibnu Taimiyah, karena sama-sama wajib, kedudukan zakat sama dengan pajak. Karena sama, zakat pun mesti dikelola sama seriusnya. Pajak difiskalkan, zakat pun sebaiknya begitu.

Pajak diambil tahunan, zakat pun demikian. Pajak untuk pembangunan satu tahun, zakat demi fakir miskin setahun. Negara baru perhatian pada pajak, saatnya zakat ditimang-timang.

Bila zakat difiskalkan, mana yang lebih tepat menangani, Depag, Depsos, Menko Kesra, atau Depkeu? Dari sederet alternatif, agaknya Depkeu lebih beralasan sebab pajak dihimpun dan dikelola Depkeu.

Untuk mengelola utang saja, Depkeu mengangkat Direktur Pengelolaan Utang. Masa untuk zakat yang tinggal didulang, Depkeu tak mau mengembangkan Direktorat Jenderal Zakat?

Menkeu pernah tak percaya bahwa zakat bisa mencapai triliunan. Sementara, dalam kalkulasi saya, potensi zakat bisa terhimpun Rp 32 triliun/tahun. Itu di luar infak dan wakaf.

Banyak manfaat bila zakat dikelola Depkeu. Pertama, sumber devisa negara tetap terkontrol dalam satu pintu. Kedua, dalam penghimpunan zakat, seluruh kantor pajak di Indonesia dapat digunakan. Ini bahkan pernah ditawarkan pada saya saat Hadi Purnomo menjabat Dirjen Pajak.

Ketiga, zakat akan ditangani oleh ahli-ahli keuangan. Ini akhirnya memicu manfaat keempat, yakni lahirnya jurusan baru tentang perzakatan di perguruan tinggi. Kelima, zakat sebagai pengurang pajak tidak lagi jadi utopia sebab pengelolaan zakat sudah di Depkeu.

Keenam departemen lain yang menangani kemiskinan, akhirnya pun dapat jatah zakat. Ketujuh, dalam distribusi dan pendayagunaan zakat, berbagai lembaga yang ada di masyarakat khususnya LAZ tetap bisa eksis. LAZ tak lagi perlu bermarketing karena sudah disosialisasi negara. Tinggal LAZ harus mengembangkan program untuk pemberdayaan kemiskinan.

Kelemahan filantropi
Filantropi memang berbeda dengan fiskal. Strategi filantropi menekankan pada kegiatannya, entah program sosial atau pemberdayaan. Namun, strategi fiskal mengutamakan kebijakan.

CSR (Corporate Social Responsibility) pun begitu. Sesungguhnya inti CSR bukan terletak pada kegiatan community development, melainkan pada tingkah laku bisnis perusahaan. Apakah praktik bisnisnya merugikan pihak lain atau tidak? Maka inti penanggulangan kemiskinan bukan pada kegiatan sosialnya, melainkan pada kebijakan negara. Kebijakan seperti apa? Tentu bukan hanya yang tak merugikan, bahkan jelas untuk kesejahteraan bangsa. Dalam konteks kebijakan ini, kegiatan filantropi jadi lebih eksis.

Kini bola di pemerintah. Pilih filantropi atau fiskal. Filantropi berangkat dari kedermawanan perorangan, sedang fiskal bertolak dari kebijakan negara. Tak bisa dimungkiri, kemiskinan di Indonesia struktural sifatnya.

Kemiskinan akibat berbagai kebijakan, ekspansi bisnis dan acuhnya masyarakat. Karenanya, kemiskinan struktural tak bisa dilawan dengan filantropi. Kemiskinan akibat kebijakan harus dibasmi dengan kebijakan pula.

Negara mesti bertanggung jawab. Jika praktik bisnis merugikan banyak pihak terutama masyarakat, negara harus membenahi dan mengadilinya. Bila ada pihak yang merugikan masyarakat, pengadilan di garda terdepan untuk menuntut.

Bila sekawanan asing hendak melahap aset bangsa, negara harus mencegahnya. Namun, jika justru kebijakan negara merugikan bangsa, kepada siapa lagi rakyat harus mengadu?

Ikhtisar:
– Perlu penanganan zakat yang lebih terarah dan berhasil guna.
– Pemerintah memegang peran dalam sistem pengelolaan dana zakat yang bertanggung jawab.

Mei 12, 2008

‘Arsitektur Zakat Indonesia’

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 2:45 am

Erie Sudewo
(Social Entrepreneur)

Beberapa saat yang lalu, Republika sempat wacanakan ‘arsitektur zakat Indonesia’. Ini membingungkan. Bicara arsitektur tampaknya memang gagah. Tapi ditilik esensinya, jangan-jangan duduk soal tak dimafhumi. Karena di saat bersamaan, diam-diam draft RUU Zakat sudah menggelinding. Jika kelak RUU disepakati jadi UU, ‘arsitektur zakat Indonesia’ jelas tak lagi dibutuhkan.

Tak Perlu ‘Arsitektur Zakat Indonesia’
Sebabnya jelas. RUU Zakat-lah yang berkehendak memangkas eksistensi LAZ (Lembaga Amil Zakat). Dalam bahasa eufimisme, LAZ dilebur hanya jadi UPZ (Unit Pengumpul Zakat), Padahal untuk jadi UPZ, kebaikan hati BAZ akan jadi penentu ya tidaknya. Sementara sebagai UPZ, bisakah berbagai program yang musti suistanable tetap tertangani. Bukan hanya butuh dana. Pikiran, tenaga, waktu dan bagaimana mengelolanya tak bisa diabaikan. Decision making bisa ditegaskan. Namun yang kerap luput, selalu tak diimbangi dengan decision making management. Tanpa pengelolaan, decision making hanya memikat di atas kertas. Atau malah jadi liar karena dimanfaatkan pihak yang gemar bermain di air keruh.

Dengan takluknya LAZ jadi UPZ, perzakatan sudah dalam genggaman negara. Sama seperti pajak, seluruhnya jadi hak negara. Bila sudah begini, perlukah ‘arsitektur zakat Indonesia’. Tak ada yang namanya ‘arsitektur pajak Indonesia’. Yang ada adalah target pajak, untuk memasok kebutuhan APBN. Maka bicara ‘arsitektur zakat Indonesia’, artinya ada pelibatan peran di luar negara. Dengan terpangkasnya LAZ, justru peran di luar negara telah dikebumikan.

BI Jadi Acuan
Bila yang diancik BI (Bank Indonesia), pahami karakternya. Pertama asal usul dana bank berasal dari DPK (Dana Pihak Ke-3), bukan donatur. Kedua, dimanapun tak ada donatur yang berharap donasinya kembali. Sebaliknya DPK bukan hanya musti kembali, malah harus pasok keuntungan. Ketiga agar uang bisa berbiak, tugas bank memerah otak. Maka itulah yang keempat, dana bank jadi komersial.

Kini perhatikan kiprah bank. Pertama dananya bisa merambah ekonomi apapun. Kedua daya jelajahnya merasuk kemanapun. Serta ketiga bank leluasa menggaet siapapun, Posisi bank jadi amat strategis. Lantas yang amat krusial, asal memenuhi syarat, bank bisa dimiliki siapapun. Jika baik, ekonomi masyarakat bakal terkatrol naik. Bila moral hazard buruk, remuknya perbankan Indonesia memaksa negara menggerojok BLBI sebesar Rp 700 triliun. Yang jika dihitung dengan bunganya, angkanya kini tak kurang dari Rp 1.200 triliun.

Karenanya BI harus mendisain ‘arsitektur perbankan Indonesia’. Arsitektur ini bukan untuk gagah-gagahan. Ini geliat rangkaian cita-cita, kemana perbankan Indonesia harus bergerak. Alasannya sederhana. Pertama menyangkut kepentingan orang banyak. Dan kedua yang paling krusial, menyangkut kepemilikan orang per orang. Rancang bangun arsitektur perbankan, jadi koridor bagi pemilik dan pengelola bank. Jika tidak dipatuhi, dampaknya berbahaya bagi negara. Dan itulah yang terjadi. Hingga BPPN bubar, 70% dana BLBI tak bisa dipertanggungjawabkan. Entah menyusupi kantong-kantong siapa saja. Terlampau banyak brutus di negeri yang indah ini.

Usulan FOZ
Sejak 2005, FOZ (Forum Zakat) telah menggagas draft untuk amandemen UU 38 tahun 1999. Inti usulan FOZ, meningkatkan profesionalisme BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Landasannya sederhana, BAZNAS satu-satunya lembaga zakat yang dibentuk via SK Presiden. Posisi ini amat strategis. Inilah yang harus diusung bersama. Tugas pemimpin musti tempatkan BAZNAS dalam strategic thinking. Bukan arahkan BAZNAS untuk operasional. Ini kekeliruan mendasar yang biasa dilakukan manajer, bukan the real leader.

Dalam draft FOZ –yang akhirnya melibatkan peran BAZNAS—posisi dan tugas BAZNAS harus ditegaskan. Posisi BAZNAS diibaratkan seperti BI. Dengan pemerintah, peran BAZNAS membuat regulasi. Dengan regulasi, fungsi BAZNAS jadi pengatur laku perzakatan di Indonesia. BAZ yang dibentuk pemerintah, ibarat bank milik pemerintah. LAZ yang dikreasi masyarakat, bak bank swasta. BAZ dan LAZ inilah yang operasional. Sementara BAZNAS tidak boleh jatuhkan martabatnya untuk latah di operasional. Bukankah BI tak boleh cari-cari nasabah.

Karenanya dalam ranah operasional, BAZNAS berperan jadi wasit. Mengganjar reward dan punishment pada BAZ atau LAZ. Juga memberi izin dan menghentikan lembaga zakat yang malpraktek. BAZNAS pun harus membuat perwakilan di tiap provinsi. Tugasnya, apalagi jika bukan untuk mengawasi. Kehidupan perzakatan harus sehat. Maka usul FOZ, BAZNAS musti mendisain ‘arsitektur perzakatan Indonesia’.

Mengapa dibutuhkan ‘arsitektur perzakatan Indonesia’? Pertama ada LAZ yang perannya musti diarahkan sesuai cita-cita negara. Kedua ada BAZ, yang seperti bank pemerintah, harus memenuhi persyaratan untuk bisa berdiri dan operasional. Izin prinsip berbeda dengan izin operasional. Karenanya ketiga, harus ditegaskan standarisasi pengelolaan zakat. Keempat kontrol pun tak boleh asal-asalan. Agar kelima, tak ada malpraktek, tak ada susupan kepentingan sendiri, kelompok dan golongan. Lebih-lebih di saat pilkada dan jelang pemilu.

Bola kini di lengan pemerintah. Bisa liar atau tertata, tergantung sudut pandang leader. Banyak leader di Indonesia, tapi sebanyak itu pula yang gagal. Mengapa? Karena leader without leadership. Orang yang punya prinsip dan tegas jagai visi, dianggap menyempal, keras kepala hingga dianggap tak ramah lingkungan. Sementara leader yang tak punya leadership, menggantinya dengan penampilan santun, kata-kata bijak dan selalu senyum. Karena tak mengguncang, leader seperti ini dianggap cocok dengan karakter bangsa. Dan menekuk pemimpin seperti ini mudah sekali dilakukan. Hasilnya, berbagai asset berharga bangsa ini sudah tergadai pada asing.

Maka lihat, siapapun bisa ucap nama-nama pejabat. Jumlahnya amat banyak. Namun siapa berani katakan, sebut saja satu nama. Siapa pejabat yang layak dianggap negarawan. Kuat dengan prinsip, serta yakin akan visi demi bangsanya. Selamat melacak.

Tinjauan Praktis PSAK Zakat Perusahaan

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 2:45 am

Oleh : Yakub

Praktisi Akuntansi Syariah

Suatu yang hal yang konstruktif dengan mengemukanya wacana zakat atas perusahaan yang dikemukakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) terkait dengan penyusunan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) untuk zakat dan infak/sedekah yang sedang dilakukannya. Hal ini mendapat tanggapan dari Irfan Syauqi Beik yang mengemukakan manfaat yang akan diperoleh dengan adanya zakat atas perusahaan.

Terakhir kali Muhammad Akhyar Adnan memberikan alternatif perlakuan akuntansi yang semestinya seandainya zakat diwajibkan atas perusahaan. Dalam kaitannya dengan proses penyusunan PSAK untuk zakat dan infak/sedekah, IAI telah mengeluarkan dan mengedarkan exposure draft (ED) PSAK tersebut dan akan segera dilakukan public hearing.

Dalam ED PSAK tersebut, belum diatur mengenai muzakki entitas (perusahaan) sebagaimana yang diwacanakan tersebut dikarenakan belum adanya fatwa dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Tulisan ini mencoba memberikan beberapa catatan dari sisi praktis bagaimana penentuan zakat perusahaan dan perlakuan akuntansinya apabila sudah ada fatwanya.

Penentuan zakat
Penentuan zakat perusahaan akan menghadapi beberapa kompleksitas dari sisi praktis, yaitu bagaimana menentukan perusahaan, pemilik perusahaan, dan agama pemilik perusahaan. Pertama, penentuan siapa perusahaan yang wajib zakat. Sekarang ini banyak perusahaan yang dimiliki oleh perusahaan lain, bahkan sering kali terjadi kepemilikan silang (cross ownership) antarperusahaan.

Permasalahan yang muncul, apakah zakat berlaku untuk perusahaan secara individual atau perusahaan yang dikonsolidasikan? Perhitungan zakat perusahaan secara individual akan berbeda dengan perusahaan secara konsolidasi. Kompleksitas tersebut akan bertambah dengan adanya bentuk-bentuk perusahaan yang tidak biasa (nonkonvensional) yang lazim dalam praktik usaha sekarang, misalnya entitas bertujuan khusus (special purpose entity).

Kedua, setelah ditentukan perusahaan yang dimaksud di atas, permasalahan selanjutnya adalah menentukan kekayaan perusahaan sebagai dasar kepemilikan. Kekayaan perusahaan tecermin dalam ekuitas, yaitu kewajiban dikurangi aset.

Untuk perusahaan yang hanya menerbitkan saham biasa, hal ini tidak akan menimbulkan kompleksitas. Namun, untuk perusahaan yang menerbitkan saham preferen atau instrumen keuangan majemuk (compound financial instrument) yang di dalamnya terdapat unsur kewajiban dan ekuitas akan lain permasalahannya.

Untuk itu diperlukan penentuan lebih lanjut mengenai perlakuan atas kepemilikan instrumen keuangan tersebut apakah sebagai pemilik (yang tecermin dalam ekuitas) atau investor (yang tecermin dalam kewajiban). Hal ini penting untuk menentukan siapa sebenarnya pemilik perusahaan yang sebenarnya.

Ketiga, penentuan agama pemilik. Kewajiban zakat perusahaan tentunya berlaku untuk pemilik Muslim. Untuk perusahaan yang tertutup (bukan perusahaan publik) tentunya akan mudah menentukan proporsi kepemilikan Muslim atas perusahaan tersebut, karena data agama pemilik dapat dengan mudah diketahui.

Namun, untuk perusahaan publik yang dimiliki oleh banyak pihak, baik pihak domestik atau asing, dan perpindahan kepemilikan perusahaan dilakukan dalam hitungan detik sebagaimana yang terjadi di bursa efek, tentunya sangat sulit (untuk tidak dikatakan tidak mungkin) untuk menentukan kepemilikan perusahaan oleh Muslim. Ini karena dalam transaksi perpindahan kepemilikan di bursa efek tidak terdapat data mengenai agama pemilik (investor).

Sementara itu, untuk perusahaan yang dimiliki oleh negara, BUMN atau BUMD, juga akan memunculkan permasalahan serupa yaitu menentukan proporsi kepemilikan Muslim atas perusahaan tersebut. Selain itu, proporsi kepemilikan tidak selalu sama atau sebanding dengan manfaat yang diperoleh oleh pemilik.

Banyak pemilik yang mempunyai porsi kepemilikan yang kecil, tetapi mampu mengendalikan operasional dan keuangan perusahaan, sehingga akan memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan pemilik mayoritas. Apabila pengenaan zakat atas proporsi kepemilikan, maka sangat dimungkinkan pemilik mayoritas mengeluarkan jumlah pajak yang lebih besar dibandingkan dengan pemilik minoritas yang justru memperoleh manfaat yang lebih besar dari perusahaan, dengan hak keistimewaan tertentu. Dengan demikian, akan menimbulkan ketidakadilan bagi pemilik tertentu.

Perlakuan akuntansi
Pemikiran untuk mencatat zakat sebagai investasi merupakan suatu hal menarik. Dalam konteks akuntansi, dana yang digunakan untuk investasi, misalnya untuk membeli surat berharga, bangunan, atau tanah, akan dicatat sebagai bagian dari aset perusahaan dan muncul dalam neracanya. Sementara, dana yang digunakan untuk investasi pengembangan sumber daya manusia umumnya akan dicatat sebagai beban walaupun investasi tersebut akan mendatangkan manfaat bagi perusahaan melalui peningkatan keahlian pegawai yang selanjutnya akan meningkatkan jumlah penjualan.

Jadi, sesuatu yang mendatangkan manfaat tidak mesti dicatat sebagai investasi. Sebaliknya, sesuatu yang mendatangkan manfaat dapat dicatat sebagai beban (expense). Beban merupakan bentuk penurunan manfaat ekonomi dalam bentuk arus kas keluar, berkurangnya aset, atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal.

Apabila pencatatan zakat sebagai investasi di neraca menyiratkan bahwa dana tersebut masih merupakan milik perusahaan, hal ini tidak sesuai dengan definisi zakat sebagai harta yang wajib dikeluarkan oleh muzakki untuk diserahkan kepada mustahiq. Kemampuan zakat untuk mendatangkan manfaat yang berlipat ganda kepada perusahaan harus dipisahkan dengan pengakuan suatu pengeluaran yang memenuhi persyaratan sebagai aset perusahaan.

Selain masalah pencatatan sebagai beban atau investasi, hal lain yang muncul mengenai bagaimana pengukurannya, apakah dengan basis kekayaan bersih atau penghasilan bersih. Hal yang perlu dicermati adalah semakin banyaknya aset tidak berwujud (intangible asset) yang sampai kini teknologi akuntansi belum mampu untuk mencatatnya dalam laporan keuangan. Padahal, terdapat tren meningkatnya kekayaan perusahaan dalam bentuk intangible asset, dengan nilai perusahaan tidak lagi ditentukan dengan kekayaan yang tercantum dalam neraca.

Kalau basis kekayaan bersih yang digunakan, maka sangat mungkin perusahaan yang padat modal, misalnya perusahaan kimia, akan terkena zakat yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan jasa atau pengembang peranti lunak komputer walaupun keuntungan yang dihasilkannya lebih tinggi daripada perusahaan yang padat modal. Dari beberapa permasalahan yang dipaparkan di atas, tentunya selain fatwa DSN MUI yang menjadi syarat, masih diperlukan pemikiran dan kajian lebih lanjut untuk penerapan zakat atas perusahaan.

ikhtisar

– Sangat sulit menentukan kriteria zakat perusahaan sehingga perlu kajian strategis dan pertimbangan matang.
– Tidak semua perusahaan milik Muslim sehingga perlu aturan yang lebih berkeadilan.

Mei 6, 2008

Zakat Perusahaan dan Kemaslahatan Umat

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 6:50 am

Oleh :Irfan Syauqi Beik
Dosen FEM IPB dan Wakil Ketua UPZ BAZNAS Malaysia

Sungguh menarik jika mencermati keinginan Ikatan Akuntan Indonesia untuk memiliki fatwa tentang zakat perusahaan sebagaimana diberitakan harian ini pada edisi 3 April 2008 lalu. Hal tersebut dikarenakan pada saat ini lembaga tersebut tengah menyusun Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) pengelolaan zakat.

Pentingnya fatwa tersebut untuk memberikan jaminan kepastian bahwa zakat yang dibayarkan nantinya benar-benar diakui sebagai zakat perusahaan. Harus diakui bahwa zakat perusahaan ini salah satu produk ijtihad modern dalam perluasan konsep harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Dalam kitab-kitab klasik agak sulit ditemukan penjelasan tentang zakat perusahaan atau yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah asy-syirkah.

Definisi perusahaan
Abdul Kadir Muhammad dalam bukunya Pengantar Hukum Perusahaan di Indonesia menyatakan bahwa berdasarkan tinjauan hukum, istilah perusahaan mengacu kepada badan hukum dan perbuatan badan usaha menjalankan usahanya. Perbuatan badan usaha tersebut mencakup perbuatan ekonomi yang bersifat komersial, yang bertujuan mendapatkan keuntungan atau laba. Termasuk di dalamnya segala aktivitas perdagangan, pelayanan, dan industri dengan bentuk badan usaha yang berbeda-beda, seperti perusahaan komanditer dan perseroan terbatas.

Badan hukum diartikan dengan badan, selain manusia perorangan, yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan kepentingan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Badan hukum ini disebut sebagai rechtperson, yaitu orang yang diciptakan oleh hukum sehingga dapat memiliki kekayaan sendiri.

Dalam praktiknya, yang bertindak keluar atas nama badan hukum adalah para pengurus, berdasarkan anggaran dasar/akta pendirian badan hukum tersebut (M Taufik Ridlo, 2007). UU No 3/1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan mendefinisikan perusahaan sebagai setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.

Dari definisi tersebut, M Taufik Ridlo (2007) menyimpulkan dua hal. Pertama, adanya bentuk usaha yang berupa organisasi atau badan usaha (company). Kedua, adanya jenis usaha yang berupa kegiatan dalam bidang ekonomi yang dilakukan secara terus-menerus untuk mendapat laba (business).

Konsep syirkah
Dalam pandangan fikih, konsep perusahaan berasal dari syirkah. Ditinjau dari segi kepemilikan, syirkah terbagi atas dua, yaitu syirkah amlak (kebersamaan dalam kepemilikan) dan syirkah ‘uqud (akad perkongsian). Syirkah terbagi dalam beberapa kelompok. Pertama, syirkah ‘inan, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dengan modal bersama dalam suatu kegiatan usaha yang mereka kelola bersama, dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama. Kedua, syirkah mudharabah, yaitu kerja sama antara rabbul maal (pemilik modal) dan mudharib (pengelola/pelaksana usaha) dengan persentase bagi hasil yang disepakati.

Hal tersebut sama dengan praktik mudharabah yang dilakukan perbankan syariah dewasa ini. Ketiga, syirkah abdan atau syirkah amal, yaitu kerja sama dua orang atau lebih dalam menerima suatu pekerjaan yang dilakukan secara bersama dengan pembagian upah sesuai kesepakatan bersama. Keempat, syirkah wujuh, yaitu kerja sama antara orang yang memiliki kredibilitas dan nama baik dengan pengusaha sehingga dengan jaminan nama baik tersebut yang bersangkutan diberi kepercayaan untuk membeli barang modal yang akan dijualnya kembali dengan berutang dan kemudian mereka membagi keuntungan dari hasilnya.

Kelima, syirkah mufawadhoh, yaitu kerja sama dua orang atau lebih dengan persentase modal yang sama, kewenangan yang sama, dan bagi hasil yang sama. Posisi empat madzhab yang ada berbeda-beda, kecuali pada dua jenis syirkah yang pertama di mana tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka.

Khusus untuk syirkah yang ketiga, hanya madzhab Syafii yang tidak membolehkannya. Pada syirkah yang keempat, madzhab Maliki dan Hanbali membolehkannya. Hanafi pun melarangnya. Untuk syirkah yang terakhir, hanya Hanafi saja yang membolehkannya, sedangkan yang lain tidak membolehkannya.

Dalam konsep tersebut ulama klasik keempat madzhab tidak memisahkan antara syirkah perseroan dan peseronya, atau antara bentuk badan usaha dengan pemilik usahanya. Yang menjadi masalah, apakah badan hukum ini dapat dianggap sebagai orang sehingga jika memiliki pendapatan dapat dikenakan zakat?

Di sinilah kemudian muncul konsep syakhshiyyah ‘itibariyyah atau badan yang dianggap orang. Konsep ini merujuk pada istilah dzimmah dalam literatur fikih, artinya sifat yang melekat pada manusia. Dalam kajian dzimmah ini, fuqoha menyatakan sifat yang ada pada manusia ini dapat dimiliki oleh sesuatu selain manusia di mana sesuatu tersebut dapat berdiri sendiri. Sebagai contoh adalah Baytul Maal. Dalam ajaran Islam, Baytul Maal akan mendapat harta waris dari orang yang tidak memiliki ahli waris sehingga seolah-olah adalah manusia yang memiliki hak waris.

Di sisi lain, Baytul Maal memiliki kewajiban mencukupi kebutuhan kelompok fakir miskin. Dalam konteks ini, ia memiliki kewajiban laiknya manusia yang berkecukupan harta. Dengan demikian, Baytul Maal memiliki dzimmah karena mempunyai hak dan kewajiban laiknya manusia.

Dalam konteks perusahaan, dzimmah pada syirkah atau perusahaan bukanlah dzimmah yang bersifat mutlak, melainkan mencakup pada interaksi keuangan atau muamalah maaliyah dan aksi sosial seperti membantu fakir miskin. Apabila syirkah melakukan hal tersebut, maka pada dasarnya ia telah memasuki ruang ta’abbudi atau ibadah laiknya ibadah seseorang terhadap Tuhannya meskipun ta’abbudi-nya masih terkait dengan muamalah maaliyah (Al-Khoyyat, 1994).

Kajian lain tentang syakhshiyyah ‘itibariyyah adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Malik. Dia mengatakan bahwa pemodal dalam syirkah mudharabah boleh membeli produk syirkah-nya dengan akad yang sahih tanpa syarat yang menyebabkan berkurangnya keuntungan yang akan dibagi kemudian. Pembelian dianggap sah dan bukan membeli sendiri (M Taufik Ridlo, 2007).

Dalam konteks ini terjadi pemisahan antara pesero (pihak yang bersepakat) dan badan usahanya sebab jika tidak dipisah maka membeli produk sendiri merupakan sesuatu yang dilarang dan menyebabkan akad menjadi tidak sah. Jelaslah jika syakhshiyyah ‘itibariyyah merupakan konsep yang tepat untuk menggambarkan kondisi perusahaan yang ada saat ini sehingga jika perusahaan tersebut memiliki pendapatan melebihi nishab dan haul zakat perdagangan, wajib mengeluarkan zakatnya. Hal tersebut telah pula dikukuhkan dalam Muktamar Internasional I tentang zakat di Kuwait pada 30 April 1984 (Hafidhuddin, 2002).

Potensi zakat perusahaan
Jika menilik pada pasal 11 ayat (2) poin (b) UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, disebutkan bahwa di antara sumber harta yang dikenai zakat adalah perdagangan dan perusahaan. Hal tersebut memberikan landasan hukum positif sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman bagi IAI untuk tidak ragu memasukkan zakat perusahaan dalam pembahasan PSAK.

Jika ditinjau dari sisi potensinya, maka potensi zakat perusahaan sangat besar. Potensi zakat BUMN saja bisa mencapai Rp 14,4 triliun dengan asumsi kontribusi terhadap GDP tetap 24 persen. Belum lagi ditambah dengan perusahaan swasta besar nasional, BUMD-BUMD, maupun swasta menengah nasional dan daerah. Artinya, negara ini tidak perlu mengandalkan utang luar negeri untuk mengentaskan kemiskinan, melainkan cukup dengan zakat dan instrumen ekonomi syariah lainnya.

Ikhtisar:

– Zakat perusahaan akan sangat membantu program pengentasan kemiskinan.
– Perlu aturan atau fatwa yang lebih jelas agar program tersebut terwujud dengan baik.

Menyongsong Lahirnya PSAK Zakat Perusahaan

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 6:42 am

Oleh :Muhammad Akhyar Adnan
Dosen FE UII Yogyakarta dan Assoc Professor International Islamic University Malaysia

Harian ini pada 3 April 2008 lalu memberitakan keinginan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) untuk memiliki fatwa tentang zakat perusahaan sehubungan dengan sedang disusunnya Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) pengelolaan zakat. Lalu, dalam edisi 14 April 2008, Irfan Syauqi Beik sudah pula menguraikan opininya tentang zakat perusahaan dan kemaslahatan umat.

Irfan antara lain menggambarkan betapa besarnya potensi zakat perusahaan yang meliputi BUMN, BUMD, dan perusahaan swasta lainnya yang pada gilirannya potensi dana tersebut diharapkan bisa memecahkan salah satu persoalan dasar bangsa ini, yakni mengatasi persoalan kemiskinan tanpa harus mengemis ke luar negeri. Tulisan singkat ini tidak bermaksud mengulas lebih jauh aspek ekonomi makro zakat, melainkan mencoba memberikan pandangan pada substansi persoalan akuntansinya. Hal ini penting sebagai salah satu aspek penunjang pencapaian tujuan makro zakat tersebut.

Barangkali sejauh ini baru ada dua lembaga akuntansi yang sudah merumuskan standar zakat perusahaan. Yang pertama adalah Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) yang berpusat di Bahrain dan sering menjadi acuan banyak negara lain dalam penyusunan standar akuntansi perbankan atau lembaga keuangan syariah. Secara spesifik AAOIFI telah mengeluarkan Financial Accounting Standard (FAS) No 9 tentang Zakat.

Yang kedua adalah Malaysian Accounting Standard Board (MASB) yang telah mengeluarkan MASB Technical release i-1 (MASB Tr i-1). Ada sejumlah perbedaan antara FAS dengan MASB Tr i-1. Misalnya, ruang lingkup FAS adalah terbatas pada Lembaga Keuangan Syariah dengan penekanan lebih banyak pada industri perbankan, sedangkan MASB Tr i-1 lebih ditujukan pada semua usaha komersial. Artinya, tidak hanya terbatas pada lembaga keuangan syariah saja, tetapi meliputi semua jenis usaha yang bersifat komersial.

Perbedaan lain adalah pada derajat hukumnya. FAS yang dikeluarkan AAOIFI sesuai dengan namanya merupakan standar akuntansi keuangan, sederajat dengan FAS atau PSAK lainnya. MASB Tr i-1 mempunyai derajat ‘hukum’ yang lebih rendah, yakni semacam petunjuk teknis yang posisinya berada di bawah standar.

Bila jadi IAI menerbitkan, baik dalam bentuk pernyataan standar akuntansi keuangan ataupun hanya technical release, maka Indonesia mungkin merupakan negara ketiga di dunia yang mempunyai standar akuntansi untuk zakat perusahaan. Ini merupakan sesuatu yang membanggakan dan diharapkan sekaligus memicu semangat berzakat dalam ranah industri dan organisasi komersial. Dengan demikian, diharapkan mampu memberikan solusi signifikan terhadap persoalan kemiskinan yang sudah demikian lama diderita bangsa ini.

Format dan isi
Sebuah Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan dan atau Accounting Technical Release, selalu memuat setidaknya beberapa aspek penting dalam konteks akuntansi, mulai dari pengertian (definition), pengakuan (recognition), pengukuran (measurement), penyajian (presentation) dan pengungkapan (disclosure). Hal yang sama juga terlihat ada, baik dalam FAS maupun MASB Tr i-1.

Lalu, bisa dan cukupkah kita (baca: IAI atau Indonesia) mencontoh saja apa yang ada, entah dalam FAS atau MASB Tr i-1 itu? Bukankah kedua produk tersebut juga disusun oleh pakar akuntansi dan syariah di negara masing-masing? Dengan mencontoh salah satu atau keduanya sekaligus, bukankah pekerjaan menjadi lebih mudah dan ringan, alias murah?

Sesungguhnya motivasi di balik tulisan ini adalah sebuah peringatan penting agar IAI tidak dengan mudah mencontoh kedua atau salah produk yang lebih dulu eksis itu. Mengapa demikian? Karena dalam kajian penulis, sudah terjadi beberapa kekeliruan mendasar, baik dalam produk AAOIFI maupun MASB itu, khususnya FAS dan juga MASB Tr i-1.

Salah satu kekeliruan yang cukup penting, menurut hemat penulis, adalah pada aspek accounting recognition atau pengakuan akuntansinya. (Catatan: karena terbatasnya ruangan, pembahasan dalam tulisan lebih difokuskan pada aspek ini saja). Baik FAS maupun MASB Tr i-1 sama-sama menegaskan bahwa pembayaran zakat oleh perusahaan diakui sebagai non-operating expense atau beban saja (tanpa spesifikasi operational atau tidak). Kemudian, dalam penyajian nanti, pos atau rekening zakat ini akan muncul dalam laporan laba rugi perusahaan.

Munculnya ketentuan pengakuan zakat sebagai expense (beban), entah operasional atau tidak, barangkali dilatarbelakangi oleh pemahaman terhadap zakat yang kurang mendalam, untuk tidak mengatakan salah. Mengapa? Karena sesungguhnya pengakuan zakat sebagai beban sama sekali tidak sesuai dengan konsep expense itu sendiri dalam perspektif akuntansi dan sekaligus berseberangan dengan makna hakiki zakat yang diajarkan oleh Islam.

Konsep expense sesungguhnya mengalami evolusi dari masa ke masa. Ini bisa dilihat dari berbagai definisi expense. Misalnya, dari AICPA ARS No 3, AICPA 1955, APB No 4 sampai kepada FASB-SFAC No 6 (1980). Untuk Indonesia, yang paling mutakhir adalah mengadopsi seutuhnya kerangka dasar yang disusun oleh International Accounting Standards (IAS).

AAOIFI sendiri dalam Statement of Financial Accounting (SAF) No 2 juga merumuskan pengertian konsep expense yang juga berbeda dari apa yang ada pada FASB Amerika Serikat ataupun IAS. Bila dicermati satu demi satu, dari berbagai definisi expense, baik melalui evolusi konsepsi yang berkembang di Amerika Serikat, IAS yang diadopsi dalam akuntansi konvensional Indonesia maupun yang ada di SAF yang dikeluarkan oleh AAOIFI, tidak satu pun yang sesuai dengan zakat.

Pembayaran zakat memang merupakan pengeluaran kas (cash outflow). Dalam pandangan sederhana, pengeluaran ini mirip dengan beban atau expense. Tetapi, perlu diingat, tidak semua cash outflow diakui sebagai biaya.

Contohnya adalah pengeluaran uang untuk membeli aktiva tetap yang pada awalnya dikapitalisasi dulu, baru kemudian secara bertahap diakui terjadinya beban tersebut. Contoh lain adalah pembelian sekuritas untuk tujuan investasi dan pembayaran dividen. Walaupun ini merupakan cash outflow juga, tetapi sekali lagi tidak masuk kategori expense.

Bila pembayaran zakat dikaitkan dengan konsep expense dari contoh pengertian yang berkembang dan dikeluarkan oleh berbagai lembaga, maka ternyata tidak ada yang sepenuhnya memenuhi syarat. Sekadar contoh, ambillah definisi expense dari SFAC No 6: Expenses are outflows of others using up of assets or incurrences of liabilities (or a combination of both) during a period of delivering or producing goods, rendering services, or carrying out other activities that constitute the entity’s major or central operations (para 80).

Kendati syarat pertama (outflows of others using up of assets or incurrences of liabilities (or a combination of both) during a period) terpenuhi, syarat kedua (of delivering or producing goods, rendering services, or carrying out other activities that constitute the entity’s major or central operations (penekanan oleh penulis]) tidak terpenuhi sama sekali. Hasil yang sama, bahkan lebih nyata, terlihat, bila konsep expense diuji dengan definisi yang dibuat oleh FAS No 2 AAOIFI.

Ketidakcocokan pengakuan pengeluaran zakat sebagai expense akan semakin jelas bila zakat dilihat dalam perspektif nilai Islam sendiri. Sudah lazim dipahami bahwa zakat mempunyai multimakna (etimologis), antara lain suci, berkah, tumbuh, dan terpuji (lihat Yusuf Qardawi, 2004). Lebih jauh, masih menurut Qardawi, makna yang lebih kuat mengutip pandangan Wahidi adalah bertambah dan tumbuh.

Bila dirujuk pula ayat Alquran tentang pengeluaran nafkah di jalan Allah (zakat termasuk di antaranya), maka mengategorikan pembayaran zakat sebagai expense semakin terasa lucu dan tidak masuk akal. Lihat misalnya QS 2:261. Dalam ayat ini secara tegas Allah memberikan metafora zakat dan semacamnya bagaikan sebuah biji atau benih yang tumbuh menjadi tujuh tangkai, dan masing-masing tumbuh atau menghasilkan seratus biji atau benih, atau secara matematis menjadi tujuh ratus. Dalam konteks usaha pada umumnya, mana ada sebuah beban (expense) yang berujung pada munculnya revenue dengan kelipatan tujuh ratus kali?

Dalam pandangan bisnis, kegiatan seperti yang ditegaskan oleh QS 2:261 di atas akan lebih dipahami sebagai kegiatan investasi dan sama sekali bukan kegiatan yang berujung pada munculnya expense. Barangkali sudut pandang inilah yang mestinya dipegang oleh muzaki. Mengapa? Karena ini akan memberikan dampak perilaku yang berbeda sama sekali bila zakat dipandang sebagai expense alias beban. Inilah substansi makna zakat sesungguhnya.

Kembali kepada aspek recognition, berdasarkan pembahasan di atas, pembayaran zakat harus dipandang analog dengan appropriation. Oleh karena itu, pembayaran zakat kalau masih menimbulkan perdebatan bila diakui sebagai investasi sepenuhnya, maka bisa dikiaskan dengan pembayaran dividen. Ini sejalan dengan pandangan bahwa sesungguhnya Allah hakikat shareholder dalam Islamic worldview. Kita manusia (termasuk para shareholders dan stakeholders perusahaan), hanyalah para khalifah yang dititipi-Nya untuk sementara waktu.

Semogalah pandangan ini dapat dipertimbangkan oleh para penyusun PSAK zakat. Termasuk anggota DSAK Ikatan Akuntan Indonesia.

April 24, 2008

Zakat dan Kemiskinan

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 5:18 am

Zakat dan Kemiskinan

Oleh: Mustain

Bukankah sebuah tragedi jika rakyat Indonesia itu miskin, apalagi sampai ada yang menderita kelaparan. Kenyataannya memang demikian. Seperti pepatah lama. Ayam mati di lumbung padi. Ini hanya terjadi di indonesia.

Negara dengan kekayaan alam yang melimpah ruah. Kesuburan tanahnya saja bisa terdengar sampai ke Benua Eropa hingga masyarakatnya berduyun-duyun datang dan memutuskan untuk tetap tinggal selama 2 (dua) abad. Bukan waktu yang pendek untuk “bertamu” dinegeri orang.

Indonesia dari kandungan ikan di lautannya saja mencapai 6.2 Ton pertahun, potensi ini setara dengan angka 74 Triliyun (Metro TV). Freeport tambang emas di Irja, adalah tambang emas terbesar di Dunia, kandungan minyak bumi Indonesia memiliki potensi 97 milyar barel. Kesuburan tanahnya menginspirasi ungkapan kuno “gemah ripah loh jinawi” yang berarti kesuburan tanah Indonesia memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya dan masih banyak potensi-potensi lain yang belum termanfaatkan seperti rangkaian gunung berapi yang tersebar dari hulu sampai hilir di sepanjang wilayah nusantara.

Namun kenyataannya apa? Setiap saat kita terus disuguhi berita mengenaskan tentang kemiskinan yang terjadi di negeri ini. Berita kematian akibat kelaparan, baru-baru ini terjadi di Makasar ada Ibu hamil tua dan satu orang anaknya meninggal dunia karena kelaparan (Kompas 01/03/08). Sejak Januari hingga Maret 2008 sebanyak 5 orang di Rote Ndao, NTT meniggal dunia karena busung lapar (Kompas, 7/04/08) Tahun sebelumnya di daerah yang sama korban busung lapar mencapai 41 Orang selama periode Januari hingga Juni 2005 (Kompas,14/06/05). Hal serupa juga terjadi di dearah-daerah lain seperti Yahukimo (Kompas, 2/12/05) Banda Aceh (Kompas, 31/2/04) Jawa Barat sedikitnya 95 anak balita di 10 Kabupaten/Kota menderita busung lapar. (Kompas,14/06/05). Tasikmalaya ada meninggal dunia akibat kelaparan (Republika, 11/032008) Bahkan di Ibu kota Jakarta kita temukan orang yang menderita kelaparan (Kompas, 3/03/2008).

Menilik data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) Pada tahun 2005 penduduk miskin di Indonesia berjumlah 37,2 Juta Jiwa, dana pada tahun berikutnya di bulan Maret tingkat kemiskinan naik menjadi 39,05 juta, sedangkan di tahun 2007 penduduk miskin Indonesia berjumlah 37,17 juta jiwa. Terlepas dari akurasi data yang dikeluarkan oleh BPS, International Development Bank (IDB) dengan mengejutkan mengeluarkan pernyataan bahwa 49 % dari seluruh penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin atau berpotensi menjadi miskin. (Media Indonesia. 07/12/2006). Kalau dihitung perkepala, artinya ada, 108,78 juta penduduk indonesia hidupnya susah dari kurang lebih 220 Juta jiwa. Karena data ini banyak kalangan merasa tercengang. Pemerintah dengan serius menyusun berbagai program dalam rangka menyelesaikan masalah tersebut, namun dampak dari program hanya sebatas sukses dalam bingkai program itu dilaksanakan. Out-put program masih tetap dalam taraf wacana penyusunan proposal dan orang miskin tetap miskin.

Konsep Kemiskinan

Satu dari kesekian teori yang membahas tentang kemiskinan, dirumuskan oleh Robert Chambers seorang pakar pembangunan pedesaan Inggris, dia menjelaskan bahwa masalah kemiskinan terjadi dan berlanjut karena adanya faktor Deprivation Trap (jebakan kemiskinan). Jebakan kemiskinan ini terdiri dari lima ketidak beruntungan yang terus melilit keluarga miskin. Pertama; Kemiskinan itu sendiri. Kedua; Kelemahan fisik. Ketiga; Keterasingan. Keempat; Kerentaan. Kelima; Ketidakberdayaan (Rural Development, 1983).

Kelima jebakan tersebut saling terkait satu sama lain dan hanya menyebabkan keterpurukan yang berkepanjangan bagi keluarga miskin. Faktor yang paling dominan dari kelima jebakan tersebut adalah Kerentaan dan Ketidakberdayaan, karena dari kedua faktor inilah kemiskinan memiliki pondasi yang kokoh. Kerentaan berarti ketidakberdayaan menghadapi situasi darurat yang tidak bisa terhindarkan, seperti ketika terjadi bencana alam baik itu banjir, gempa bumi, gelombang pasang atau datangnya penyakit dengan tiba-tiba. Kerentaan inilah yang menjadi pengerak roda kemiskinan karena menyebabkan keluarga miskin makin menjadi miskin karena kehilangan asetnya secara permanen.

Ketidakberdayaan terjadi lebih lebih diakibatkan oleh “bencana” yang disebabkan dari adanya sistem dan kebijakan. Seperti ketikmampuan orang miskin mendapatkan subsidi modal usaha dari bank karena memang bank di ciptakan hanya untuk orang-orang kaya. Karena ketiadaan aset si miskin tidak bankable.

Kebijakan pemerintah menaikkan kebutuhan pokok. Adanya korupsi terkait dengan hak-hak orang miskin seperti; kasus penggelapan subsidi pemerintah untuk keluarga miskin (Gakin).(Bapeda Jabar 07/08/07). Penggelapan beras subsidi oleh aparat pemerintah (Republika, 05/04/2008) sehingga hak-hak orang miskin terampas dan mereka tidak berdaya.

Kerentaan dan Ketidakberdayaan orang miskin semakin berkelanjutan karena dukungan dari kontruksi sosial yang sudah membentuknya dan kontruksi ini adalah akibat dari struktur ekonomi, politik dan budaya yang tidak proporsional dan memihak.

Zakat Sebagai Instrument Pengentasan Kemiskinan

Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, dalam diri setiap muslim tertanam kewajiban untuk menegakkan pilar Agama Islam yang lima. Nomor tiga dari lima pilar tersebut setelah Shahadah dan Shalat adalah Zakat. Zakat adalah Satu dari kesekian ajaran sosial Islam yang berorientasi pada kemaslahatan kamanusiaan. Suatu bentuk ibadah Maaliyah Ijtimaiyyah yang memiliki posisi yang sangat stategis dalam program penguatan kaum dhuafa. Menurut Eri Sudewo, (Ketua I BAZNAS) potensi zakat ansich di Indonesia sebesar dalam kisaran antara 1,08-32,4 triliyun pertahun, dengan asumsi terdapat 18 juta Muslim kaya dari 80 juta Muslim yang menunaikan zakat perbulan dengan kisaran 50-150 ribu rupiah.

Dengan potensi ideal 32,4 Triliyun pertahun, tentu saja ini adalah angka yang besar dan belum lagi di tambah dari dana infaq, sadakah dan wakaf. Jika potensi itu berhasil terhimpun, penulis yakin tidak akan ada orang yang meminta-minta di tiap perempatan di jakarta. tidak akan ada orang yang berprofesi menggalang dana umat di angkutan kota dan tidak ada cerita orang mati karena busung lapar. Namun kenyataannya penghimpunan zakat, infaq dan sadakah tidak lebih dari 286.412 .188.273 (Dua ratus delapan puluh enam milyar, sekian) dari total penghimpunan dana yang dilakukan oleh organisasi pengelola zakat di indonesia.(Data Forum Zakat, 2007).

Adanya UU No. 38 Tahun 1999 Tentang Zakat, ternyata belum bisa memaksa wajib zakat untuk menyalurkan zakatnya. Dan potensi yang 42,3 triliyun masih tinggal diangan-angan para praktisi zakat. Dengan berbagai upaya yang terus dilakukan oleh organisasi pengelola zakat (OPZ) Indonesia yang tidak kurang dari 242 lemabaga baik dari Badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah maupun lembaga amil zakat (LAZ) yang diinisiasi oleh masyarakat kerja saling bau-membahu untuk menyadarkan sekaligus menumbuhkan kepercayaan masyarakat dalam menunaikan zakat dan menyalurkannya lewat lembaga.

Pada titik jenuh praktisi zakat merasakan keputusasaan dalam mengemban tugas yang sebetulnya adalah kewajiban Pemerintah. Kemiskinan adalah monster yang muncul tidak dengan sendirinya. Kerentaan dan ketidakberdayaan orang miskin berkelanjutan karena kontruksi sosial yang sudah membentuknya. Kontruksi ini adalah akibat dari kebijakan Struktur Ekonomi, Politik dan Budaya yang tidak proporsional dan memihak. Salah satu sindirannya terkait adalah “menggusur satu rumah keluarga miskin adalah biadab. Menggusur 1000 rumah orang miskin real estate hasilnya”.

Mengentaskan satu keluarga miskin adalah mulia, mengentaskan 100 keluarga miskin adalah tugas CSR, mengentaskan sejuta orang miskin itu kebijakan namanya (Politik ZISWAF, 2008), kemiskinan merajalela adalah karena kebijakan. Untuk melawan kemiskinan harus dengan kebijakan. Tanpa kebijakan usaha untuk mengentaskan kemiskinan dari awal sudah ditakdirkan akan gagal. Disinilah letak pentingnya sebuah instutusi pemerintah dalam melawan kemiskinan, karean kebijakan suatu negara terletak pada “kekuasaan” yang sedang memerintah.

Peran Pemerintah

Beberapa masalah penting yang terjadi saat ini yang harus diselesaikan dalam pengelolaan zakat nasional adalah; Masih terjadi tumpang tindih kelembagaan khususnya dalam peran, fungsi dan tugas antara regulator, pengawas, dengan operator. Masih ada kerancuan hubungan kelembagaan antara Baznas, BAZ provinsi, BAZ kabupaten/kota, dan BAZ kecamatan . Kedudukan BAZ provinsi/kabupaten/kota/kecamatan belum jelas; apakah di bawah BAZNAS, Departemen Agama, atau pemerintah daerah?. Belum ada koordinasi penghimpunan, pengelolaan, dan pendayagunaan zakat secara nasional. Keberadaan zakat masih sebatas pengurang penghasilan kena pajak. Kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan kewajiban zakat masih terbatas. Masih minim, sosialisasi zakat ke seluruh komponen masyarakat. Masih belum profesional pengelolaan dan kelembagaan zakat.semua kondisi tersebut hanya bisa di selesaikan dengan kebijakan pemerintah.

Untuk pengembangan kualitas zakat nasional, pemerintah harus terus mendorong upaya-upaya optimalisasi pengelolaan zakat infaq dansedekah (ZIS), yakni dengan membuat regulasi zakat yang dapat memposisikan peran gerulator, operator dan pengawas sesuai dengan fungsinya serta adanya klausul yang “memaksa” wajib zakat untuk menunaikan zakatnya, menjadikan zakat sebagai pengurang beban pajak bukan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, Menginisiasi adanya blue print zakat indonesia sebagai acuan konstuksi pengelolaan zakat di indonesia, Mengeluarkan standarisasi kapasitas kelembagaan pengelolaan zakat. Ikut serta mensosialisasikan kedermawanan sosial sebagai “life style” masyarakat “The Have” Indonesia

Jika kebijakan terrealisasi, penulis yakin potensi akan mudah terdongkrak dan tentu saja pemerintah akan banyak berterimakasih kepada LAZ dan BAZ dalam upaya pengentasan kemiskinan karena dari kedua lembaga tersebut sudah memberikan kontribusi 21,105 triliyun setiap tahun, jika potensi zakat hanya tergalang setengahnya sajaa. Setara dengan anggaran APBN RI tahun 2006 untuk pengentasan kemiskinan sebelum dikurangi biaya operasional.

Memang sampai saat ini belum ada penelitian yang menunjukkan signifikansi zakat dalam menegentaskan kemiskinan. Namun apa yang sudah dilakuan oleh BAZ dan LAZ untuk ikut berpartisipasi dalam mensejahterakan masyarakat bawah sudah layak diapresiasi.beberapa bidang kerja yang sudah dijalankan diantaranya;

Bidang Ekonomi. Alokasi dana zakat untuk bidang ekonomi dari sembilan lembaga amil zakat adalah 20,47% dari dana yang berhasil dihimpun (Data Forum Zakat, 2008).: dana ini dialokasikan untuk Bantuan modal kepada pedagang mikro dan kecil, Bantuan pendirian pasar, Bantuan modal untuk produksi, Bantuan modal pada pertanian dan peternakan Contohnya adalah pendirian pabrik tepung tapioka untuk membantu petani singkong di Lampung yang dikenal dengan Industri Tepung Tapioka Rakyat (ITTARA) serta pembuatan tempat pelelangan ikan (TPI) kepada sejumlah nelayan di Banggai, Sulawesi Tengah. Bantuan pendirian lembaga keuangan mikr. Sejak tahun 1994 organisasi pengelola zakat telah mendorong terbentuknya lembaga keuangan mikro syariah atau yang lebih dikenal dengan BMT (Baitul Maal wa Tamwil). Saat ini sudah berdiri sejumlah 3000an BMT di seluruh Indonesia. Bahkan di tahun 2007 ini, sejumlah BMT telah membentuk sinergitas untuk mendirikan PT. Permodalan BMT. Peran dan fungsi dari Permodalan BMT adalah menjadi semacam bank jangkar untuk persoalan likuiditas dan permodalan.

Bidang Pendidikan. Rata-rata alokasi dana zakat untuk bidang pendidikan dari sembilan lembaga amil zakat adalah 47,21% (Data Forum Zakat, 2008) dari dana yang berhasil dihimpun. Jumlah yang telah melebihi prosentase alokasi APBN untuk pendidikan yang diamanahkan UUD 1945. bentuk penyalurannya antara lain; Beasiswa. Beasiswa diberikan kepada pelajar dan mahasiswa yang jumlah per bulannya adalah Rp1,4 juta per orang. Beaguru dan peningkatan kapasitas guru, lebih dari 6.000 orang guru yang mendapat beaguru. sampai saat ini, pelatihan guru-guru dari tingkat SD sampai dengan SLTA sebanyak 30.000 orang yang berasal dari 2.000 sekolah,. Penyelenggaraan sekolah formal. Pada tahun 2007 saja, program ini menyerap dana sebesar Rp 9 miliar untuk 136 siswa. Seluruh murid-muridnya tidak dipungut biaya, bahkan dipenuhi seluruh kebutuhannya. Pendidikan informal. Dikerjasamakan dengan balai latihan kerja (BLK) yang berperan sebagai pendanaan dan pencarian anak-anak yang akan dilatih. Sementara pihak BLK menyiapkan fasilitas dan tenaga instruktur/fasilitator. Pendirian dan operasionalisasi BLK. Dua diantara BLK yang didirikan dan dikelola oleh lembaga amil zakat adalah BLK di Bontang dan IKI di Jakarta.

Bidang Kesehatan. Rata-rata alokasi dana zakat untuk bidang kesehatan dari sembilan lembaga amil zakat adalah 16,12% (Data Forum Zakat, 2008) dari dana yang berhasil dihimpun. Selain dalam bentuk membiayai perawatan pasien dana ini juga dialokasikan untuk membiayai operasi, asuransi kesehatan, mendirikan dan mengelola klinik kesehatan, menyediakan mobil pelayanan kesehatan keliling, menyediakan ambulance gratis, di Jakarta telah berdiri rumah sakit yang dinamakan Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) di Ciputat dan Rumah Sehat di cikini. Para fakir miskin yang berobat, tidak dipungut biaya sepeserpun. Bahkan LKC pun menyiapkan layanan rawat inap, apotik untuk menebus obat, layanan ambulance, layanan mobil jenazah, serta layanan preventif pencegahan sakit dengan terjun secara aktif dan periodik ke masyarakat.

Santunan. Fakir miskin yang datang setiap hari ke OPZ bisa mencapai ratusan, jika dikalkulasi secara kasar. Jika tiap lembaga zakat buka sepanjang 250 hari per tahun, dikali 100 orang per hari, dikali 100 lembaga zakat saja, maka kalangan fakir miskin yang datang per hari total berjumlah 2.5 juta orang per tahun. Jika lembaga zakat telah berkiprah selama 10 tahun, maka selama itu pula lembaga zakat telah melayani 25 juta orang.

Kesimpulan

Sejarah tidak bisa di pungkiri, bahwa dana umat ini pernah menjadi salah satu instrumen utama dalam mensejahterakan masyarakat di sebuah negara. Tengok saja sejarah pada kehalifahan Harun Al-Rasyid. saat itu Baitul Maal dikelola penuh oleh negara dan dikisahkan saat itu negara kesulitan mencari mustahik (Penerima Derma) hal ini menunjukkan betapa sejahteranya masyarakat saat itu, sampai-sampai kesulitan mencari orang susah apalagi kelaparan seperti yang terjadi di negeri kita saat ini.

Tanpa adanya kebijakan yang mendukung peran kedudukan dan fungsi OPZ. OPZ akan terus terjebak dalam wilayah operasional mikro yang terpisah dari kebijakan. Bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan, peran LAZ jelas punya manfaat. Namun ditilik dari segi maksimalisasi aktivitas, sebaik apapun LAZ tetap saja berada dalam wilayah volunteerism (kerelawanan). Dalam wilayah ini LAZ tidak powerfull.

Sebaik apapun LAZ, hanya akan baik untuk dirinya sendiri. Seperti perusahaan yang sangat profesional tapi tidak akan pernah bisa mencegah lahirnya kemiskinan baru. Dengan keterlibatan timbal balik dari pemerintah. Atas adanya kebijakan terkait regulasi zakat yang jelas dan pengelolaan yang terstandar serta upaya pemerintah untuk memberikan kesadaran akan pentingnya menunaikan ibadah sosial ini kepada wajib zakat dan agniya. Saya yakin hasil penggalangan akan meningkat tajam karena OPZ sudah memiliki instrumen yang dapat mendongkrak potensi zakat di tanah Air.

Dengan hasil penggalangan ZISWAQ yang optimal serta pengelolaan secara profesional maka akan lebih banyak program pemberdayaan kemiskinan yang dapat direalisasikan dan pada akhirnya lebih banyak manfaat yang bisa di dapatkan oleh mereka yang dhuafa.

wallahua’lam

April 14, 2008

Zakat Perusahaan dan Kemaslahatan Umat

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 5:55 am

Oleh :Irfan Syauqi Beik
Dosen FEM IPB dan Wakil Ketua UPZ BAZNAS Malaysia

Sungguh menarik jika mencermati keinginan Ikatan Akuntan Indonesia untuk memiliki fatwa tentang zakat perusahaan sebagaimana diberitakan harian ini pada edisi 3 April 2008 lalu. Hal tersebut dikarenakan pada saat ini lembaga tersebut tengah menyusun Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) pengelolaan zakat.

Pentingnya fatwa tersebut untuk memberikan jaminan kepastian bahwa zakat yang dibayarkan nantinya benar-benar diakui sebagai zakat perusahaan. Harus diakui bahwa zakat perusahaan ini salah satu produk ijtihad modern dalam perluasan konsep harta yang wajib dikeluarkan zakatnya. Dalam kitab-kitab klasik agak sulit ditemukan penjelasan tentang zakat perusahaan atau yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah asy-syirkah.

Definisi perusahaan
Abdul Kadir Muhammad dalam bukunya Pengantar Hukum Perusahaan di Indonesia menyatakan bahwa berdasarkan tinjauan hukum, istilah perusahaan mengacu kepada badan hukum dan perbuatan badan usaha menjalankan usahanya. Perbuatan badan usaha tersebut mencakup perbuatan ekonomi yang bersifat komersial, yang bertujuan mendapatkan keuntungan atau laba. Termasuk di dalamnya segala aktivitas perdagangan, pelayanan, dan industri dengan bentuk badan usaha yang berbeda-beda, seperti perusahaan komanditer dan perseroan terbatas.

Badan hukum diartikan dengan badan, selain manusia perorangan, yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan kepentingan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Badan hukum ini disebut sebagai rechtperson, yaitu orang yang diciptakan oleh hukum sehingga dapat memiliki kekayaan sendiri.

Dalam praktiknya, yang bertindak keluar atas nama badan hukum adalah para pengurus, berdasarkan anggaran dasar/akta pendirian badan hukum tersebut (M Taufik Ridlo, 2007). UU No 3/1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan mendefinisikan perusahaan sebagai setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan didirikan, bekerja, serta berkedudukan dalam wilayah negara Indonesia untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba.

Dari definisi tersebut, M Taufik Ridlo (2007) menyimpulkan dua hal. Pertama, adanya bentuk usaha yang berupa organisasi atau badan usaha (company). Kedua, adanya jenis usaha yang berupa kegiatan dalam bidang ekonomi yang dilakukan secara terus-menerus untuk mendapat laba (business).

Konsep syirkah
Dalam pandangan fikih, konsep perusahaan berasal dari syirkah. Ditinjau dari segi kepemilikan, syirkah terbagi atas dua, yaitu syirkah amlak (kebersamaan dalam kepemilikan) dan syirkah ‘uqud (akad perkongsian). Syirkah terbagi dalam beberapa kelompok. Pertama, syirkah ‘inan, yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih dengan modal bersama dalam suatu kegiatan usaha yang mereka kelola bersama, dengan pembagian keuntungan yang disepakati bersama. Kedua, syirkah mudharabah, yaitu kerja sama antara rabbul maal (pemilik modal) dan mudharib (pengelola/pelaksana usaha) dengan persentase bagi hasil yang disepakati.

Hal tersebut sama dengan praktik mudharabah yang dilakukan perbankan syariah dewasa ini. Ketiga, syirkah abdan atau syirkah amal, yaitu kerja sama dua orang atau lebih dalam menerima suatu pekerjaan yang dilakukan secara bersama dengan pembagian upah sesuai kesepakatan bersama. Keempat, syirkah wujuh, yaitu kerja sama antara orang yang memiliki kredibilitas dan nama baik dengan pengusaha sehingga dengan jaminan nama baik tersebut yang bersangkutan diberi kepercayaan untuk membeli barang modal yang akan dijualnya kembali dengan berutang dan kemudian mereka membagi keuntungan dari hasilnya.

Kelima, syirkah mufawadhoh, yaitu kerja sama dua orang atau lebih dengan persentase modal yang sama, kewenangan yang sama, dan bagi hasil yang sama. Posisi empat madzhab yang ada berbeda-beda, kecuali pada dua jenis syirkah yang pertama di mana tidak ada perbedaan pendapat di antara mereka.

Khusus untuk syirkah yang ketiga, hanya madzhab Syafii yang tidak membolehkannya. Pada syirkah yang keempat, madzhab Maliki dan Hanbali membolehkannya. Hanafi pun melarangnya. Untuk syirkah yang terakhir, hanya Hanafi saja yang membolehkannya, sedangkan yang lain tidak membolehkannya.

Dalam konsep tersebut ulama klasik keempat madzhab tidak memisahkan antara syirkah perseroan dan peseronya, atau antara bentuk badan usaha dengan pemilik usahanya. Yang menjadi masalah, apakah badan hukum ini dapat dianggap sebagai orang sehingga jika memiliki pendapatan dapat dikenakan zakat?

Di sinilah kemudian muncul konsep syakhshiyyah ‘itibariyyah atau badan yang dianggap orang. Konsep ini merujuk pada istilah dzimmah dalam literatur fikih, artinya sifat yang melekat pada manusia. Dalam kajian dzimmah ini, fuqoha menyatakan sifat yang ada pada manusia ini dapat dimiliki oleh sesuatu selain manusia di mana sesuatu tersebut dapat berdiri sendiri. Sebagai contoh adalah Baytul Maal. Dalam ajaran Islam, Baytul Maal akan mendapat harta waris dari orang yang tidak memiliki ahli waris sehingga seolah-olah adalah manusia yang memiliki hak waris.

Di sisi lain, Baytul Maal memiliki kewajiban mencukupi kebutuhan kelompok fakir miskin. Dalam konteks ini, ia memiliki kewajiban laiknya manusia yang berkecukupan harta. Dengan demikian, Baytul Maal memiliki dzimmah karena mempunyai hak dan kewajiban laiknya manusia.

Dalam konteks perusahaan, dzimmah pada syirkah atau perusahaan bukanlah dzimmah yang bersifat mutlak, melainkan mencakup pada interaksi keuangan atau muamalah maaliyah dan aksi sosial seperti membantu fakir miskin. Apabila syirkah melakukan hal tersebut, maka pada dasarnya ia telah memasuki ruang ta’abbudi atau ibadah laiknya ibadah seseorang terhadap Tuhannya meskipun ta’abbudi-nya masih terkait dengan muamalah maaliyah (Al-Khoyyat, 1994).

Kajian lain tentang syakhshiyyah ‘itibariyyah adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Malik. Dia mengatakan bahwa pemodal dalam syirkah mudharabah boleh membeli produk syirkah-nya dengan akad yang sahih tanpa syarat yang menyebabkan berkurangnya keuntungan yang akan dibagi kemudian. Pembelian dianggap sah dan bukan membeli sendiri (M Taufik Ridlo, 2007).

Dalam konteks ini terjadi pemisahan antara pesero (pihak yang bersepakat) dan badan usahanya sebab jika tidak dipisah maka membeli produk sendiri merupakan sesuatu yang dilarang dan menyebabkan akad menjadi tidak sah. Jelaslah jika syakhshiyyah ‘itibariyyah merupakan konsep yang tepat untuk menggambarkan kondisi perusahaan yang ada saat ini sehingga jika perusahaan tersebut memiliki pendapatan melebihi nishab dan haul zakat perdagangan, wajib mengeluarkan zakatnya. Hal tersebut telah pula dikukuhkan dalam Muktamar Internasional I tentang zakat di Kuwait pada 30 April 1984 (Hafidhuddin, 2002).

Potensi zakat perusahaan
Jika menilik pada pasal 11 ayat (2) poin (b) UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, disebutkan bahwa di antara sumber harta yang dikenai zakat adalah perdagangan dan perusahaan. Hal tersebut memberikan landasan hukum positif sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dan pedoman bagi IAI untuk tidak ragu memasukkan zakat perusahaan dalam pembahasan PSAK.

Jika ditinjau dari sisi potensinya, maka potensi zakat perusahaan sangat besar. Potensi zakat BUMN saja bisa mencapai Rp 14,4 triliun dengan asumsi kontribusi terhadap GDP tetap 24 persen. Belum lagi ditambah dengan perusahaan swasta besar nasional, BUMD-BUMD, maupun swasta menengah nasional dan daerah. Artinya, negara ini tidak perlu mengandalkan utang luar negeri untuk mengentaskan kemiskinan, melainkan cukup dengan zakat dan instrumen ekonomi syariah lainnya.

Ikhtisar:

– Zakat perusahaan akan sangat membantu program pengentasan kemiskinan.
– Perlu aturan atau fatwa yang lebih jelas agar program tersebut terwujud dengan baik

April 3, 2008

Menggagas program pemberdayaan ZISWAQ yang berkelanjutan

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 9:37 am
Tags: ,

Keinginan Organisasi Pengelola Zakat untuk membenai program pengentasan kemiskinan terus dilakukan. Adalah Circle of Information and Development (CID) lembaga kajian yang berorientasi pada pembangunan masyarakat berkelanjutan, Subordinasinya Dompet Dhuafa yang menyelenggarakan Diskusi Intensif Pada 12/04 di Wisma Syahida Inn Ciputat, membincang mengenai konsep baru yakni Sustaianable livelihood approach

(SLA) serta kemungkinannya disesuiakan dan diterapkan di lingkungan OPZ dan lembaga sosial lainnya.

Dikusi yang dihadiri tidak kurang dari 40 peserta perwakilan dari LAZNAS serta beberapa praktisi dan akademisi NGO Indonesia mengusung tema “Sustaianable livelihood approach dalam kerangka program pemberdayaan ZISWAQ“. Tujuan utama dari diskusi ini selain untuk mensosialisasikan program pemberdayaan masyarakan dengan pendekatan Sustaianable livelihood approach juga ingin merancang sebuah program yang diadopsi dari SLA untuk dapat diterapkan sesuai dengan kondisi dan budaya di Indonesia.

Nara sumber yang hadir dalam diskusi ini adalah Pakar program Untuk Kesejahteraan Sosial yaitu Bapak Prof. Dr. Ir, Sahri Muhammd, MS Guru Besar Universitas Brawijaya. dan Ade Gunawan praktisi NGO dari Association for community empowerment.

Sustainalbuility Livelihood approach atau yang lebih dikenal dengan SLA adalah program yang sedang dikembangkan untuk mengatasi kemiskinan di tingkat global. SLA yang awalnya dipopulerkan oleh Robert Chambers dan Gordon Conway dari IDS-Brighton-UK kini sudah menjadi istilah program pembagunan yang berkelanjutan. SLA sudah banyak di terapkan oleh lembaga-lembaga sosial tingkat internasional seperti DFID, UNDP, SIDA, CARE, OXFAM, Kanya dll. Adapun yang dimaksud SLA itu sendiri adalah kegiatan yang dibutuhkan oleh setiap orang/masyarakat untuk menjalankan kehidupannya dengan menggunakan kapasitas/ kemampuan serta kepemilikan sumber daya untuk mencapai tingkat kehidupan yang diharapkan.

TERDAPAT EMPAT ASPEK POKOK YANG MENJADI PEMBAHASAN SLA PERTAMA KEGIATAN DAN ASET KEHIDUPAN KEDUA CAPAIAN (OUTPUT) LIVELIHOOD KETIGA FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEEMPAT DIAGRAM YANG MENGHUBUNGKAN ELEMEN KUNCI SLA.

KEGIATAN

Yang dimaksud kegiatan dalam SLA adalah upaya-upaya yang dilakukan oleh manusia/keluarga untuk mencapai harapan kehidupannya. Berbagai kombinasi kegitan untuk mencapai kehidupan yang diharapkan adalah livelihood strategy atau strategi dalam mencapai keberhasilan. Kegiatan tersebut bisa berupa aktifitas produksi, sosial, reproduksi, dsb dan strategi ini semakin rumit karena faktor internal dan eksternal semakin beragam. Misalnya individu yang bekerja di tempat yang berbeda, individu yang merangkap lebih dari satu profesi Sebagai Nelayan+Petani+ Tukang, Kerja di kota dan tinggal di desa

ASET

Aset adalah sesuatu yang dimiliki (berkuasa mengkontrol) atau dapat diakses untuk menjalankan penghidupan. Aset merupakan modal untuk melaksanakan kegiatan sehingga tujuan penghidupan bisa dicapai. DFID mengkelompokkan aset ke dalam lima kelompok yang disebut Pentagon Aset yaitu:

1) Human Capital (Sumberdaya Manusia) yang masuk kategori aset ini adalah Kesehatan, Pendidikan, Pengetahuan dan Ketrampilan, Kapasitas untuk Bekerja, Kapasitas untuk Beradaptasi

2) Natural Capital (Sumberdaya Alam) mencakup; Tanah dan Produksinya, Air dan Sumber daya air di dalamnya (ikan), Pohon dan Hasil Hutan, Binatang buruan, Serat dan pangan yang tidak dibudidayakan, Keanekaragaman Hayati, Sesuatu kegiatan yang berhubungan dengan lingkungan

3) Financial Capital (Sumberdaya Keuangan) yaitu ;Tabungan atau simpanan, termasuk dari ZISWAF, Kredit/hutang /hibah baik fomal maupun informal, juga yang diberikan LSM/ BAZIS/ LAZIS, Kiriman dari keluarga yang bekerja di luar daerah, Dana Pensiun, Keuntungan usaha, Upah/Gaji,

4) Social Capital (Sumberdaya Sosial)yaitu; Jaringan dan Koneksi, Patronyang terbangun, Kerukunan antar tetangga, Hubungan Baik, Hubungan yang berbasis rasa saling percaya dan saling mendukung, Kelompok formal dan informal, termasuk AMIL Zakat, Peraturan umum dan sanksi, Keterwakilan , Mekanisme berpartisipasi didalam proses pengambilan keputusan,Kepemimpinan

5) Physical Capital (Sumberdaya Infrastruktur)

  • Infrastruktur termasuk; Jaringan transportasi, kendaraan, dsbnya, Gedung dan tempat tinggal, Sarana Kebersihan dan Air bersih, Energi, Jaringan Komunikasi
  • Teknologi dan Alat-alat; Alat alat dan peralatan untuk produksi, Bibit, pupuk, pestisida, Teknologi tradisional

6). Spiritual Capital (Sumberdaya Imani)

CAPAIAN

Capaian akhir dari livelihood adalah kesejahteraan saat ini dan bagi generasi mendatang. Namun prioritas pencapaian jangka pendek perlu ditargetkan, karena capaian sifatnya beragam maka ketepatan mengindentifikasi sesuai harapan dapat membuat proses pembangunan lebih cepat dan tepat.

Alasan kenapa SLA menggunakan istilah capaian livelihood bukan menggunakan istilah tujuan karena tujuan menggambarkan sesuatu yang statis sedangkan hasil yang mau dicapai dari setiap kegiatan livelihood adalah sesuatu yang dinamis dan cenderung relatif.

Untuk mengukur capaian dari kegiatan yang diinginkan bisa dilakukan dengan Mendiskusikan indikator-indikatornya dengan masyarakat kelompok sasaran serta mengajak mereka memantau proses-proses yang berjalan dan mengamati perubahan-perubahan yang tidak terduga misalnya:perubahan dalam hubungan sosial, akumulasi atau hilangnya aset-aset oleh kelompok tertentu, dsb.

Capaian buruk bisa terjadi dimungkinkan karena adanya aset yang tidak seimbang dan rentan, bisa jadi aset tidak dapat berkelanjutan, tidak mampu menghadapi dan berkembang kembali ketika terjadi perubahan mendadak, maupun perubahan yang terjadi secara perlahan. Tidak didukung atau bahkan mungkin dirusak oleh kebijakan, institusi dan proses sehingga aset tidak dapat digunakan sebagaimana seharusnya digunakan. Strategi penghidupan yang dikembangkan dari kombinasi pilihan livelihood yang jelek dan tidak berkelanjutan

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

Terdapat dua kategori foktor yang bisa mempengaruhi capaian Livelyhood program yakni pertama faktor internal misalnya: Motivasi, kekuatan aset yang dimiliki dan yang kedua adalah faktor external yang terdiri dari dua faktor pertama kerentanan yaitu perubahan yang terjadi baik secara cepat, lambat maupun musiman yang mengakibatkan rentannya masyarakat dan kedua Struktur dan Proses yaitu perubahan yang diakibatkan oleh kebijakan, norma-norma yang dikeluarkan oleh pemerintah, masyarakat, LSM, BAZISWAF maupun pengusaha.

Faktor kerentanan sendiri terdiri dari tiga faktor pertama faktor perubahan lambat (Trends) misalnya: Pertambahan Jumlah Penduduk, Perubahan teknologi, Perubahan fungsi hutan, sumberdaya ikan, polusi air dan udara. Kedua adalah Faktor perubahan mendadak (Shocks) Misalnya: Banjir, Wabah penyakit , Konflik. Ketiga adalah faktor perubahan musiman (Seasonality), Musim panen, Musim kering, Musim hujan

Pengaruh Faktor Kerentanan Terhadap Aset, Dampak faktor kerentaan terhadap aset dapat terindikasi dari pertama Perubahan perlahan masih bisa diramalkan namun dampaknya sulit diatasi. Mis. Pertambahan penduduk akan mengurangi ruang untuk mengembangkan aset livelihood. Kedua Perubahan yang mendadak misalnya bencana alam, banjir atau konflik sosial bisa menghancurkan aset (rumah, jalan, tanaman, hewan) secara langsung. Naiknya harga BBM atau menurunnya nilai tukar yang mendadak juga secara nyata bisa mengakibatkan masyarakat kehilangan daya belinya. Ketiga Perubahan musiman seperti ketersediaan pangan, ketersediaan pekerjaan atau sebaliknya kesulitan pangan atau pekerjaan juga merupakan perubahan-perubahan yang penting terhadap aset.

Hubungan Aset terhadap capaian livelihood adalah Jika capaian dari kegiatan livelihood adalah positif maka hasil tersebut bisa memperkuat aset. Kedua Jika capaian dari kegiatan livelihood adalah negatif maka akan terjadi mekanisme mengurangi aset yang sudah ada.

Pengaruh Struktur Dan Proses terhadap capaian livelihood, Struktur berarti perangkat keras organisasi, baik swasta (LSM, OPZ) maupun pemerintah (BAZNAS, DEPAG, DPR) yang menetapkan dan melaksanakan kebijakan dan legislasi dan fungsi-fungsi lain yang mempengaruhi livelihoods. Pentingnya struktur karena; Struktur membuat proses-proses menjadi berfungsi, Tanpa ada badan legislatif maka tidak ada legislasi, Tanpa ada lembaga hukum yang melaksanakannya maka legislasi tidak berarti, Tanpa pedagang maka pasar hanya akan terbatas melangsungkan transaksi dagang, Dengan adanya ZISWAF penguatan aset masyarakat miskin akan berlangsung sustainable, Tiadanya struktur-struktur yang memadai bisa menjadi hambatan utama bagi pembangunan (misalnya di daerah yang terpencil), Ketika masyarakat tidak mempunyai akses ke organisasi-organisasi negara mereka seringkali hanya mempunyai pengetahuan yang sedikit tentang hak-hak mereka, dan terbatas pemahamannya mengenai fungsi dan jalannya pemerintahan.

Proses bisa dianggap sebagai perangkat lunak, yang menentukan cara-cara di mana struktur dan individu berjalan dan berhubungan. Proses dianggap sebagai faktor berpengaruh dengan kegiatan livelihood karena Pertama Proses menyediakan dukungan. Misalnya menggerakkan masyarakat untuk membuat pilihan-pilihan khusus (mengenai strategi livelihoods mana yang akan dilaksanakan, di mana melakukannya, berapa banyak yang harus dikeluarkan untuk melakukan investasi dalam berbagai jenis aset-aset livelihoods, bagaimana mengelola sumberdaya, dan sebagainya). Kedua Proses dapat memberi atau menolak akses pada aset-aset.Ketiga Proses memungkinkan masyarakat untuk mengubah satu jenis aset menjadi jenis aset lainnya (melalui pasar). Keempat Proses mempunyai pengaruh kuat pada hubungan inter-personal – bagaimana satu kelompok memperlakukan kelompok yang lain.

Pengaruh struktur dan proses terhadap aset, struktur dan proses memiliki dampak signifikan terhadap pentingnya aset, karena ada beberapa suku tertentu secara tegas lebih mengutamakan pendidikan bagi anak laki-laki daripada anak perempuan, Adanya peraturan baik yang tertulis maupun tidak yang memberikan akses kepada anak laki-laki tertua untuk mendapatkan tanah warisan adat maupun keluarga. Pemerintah mengeluarkan Surat Izin Pengelolaan Tanah Ulayat suku tertentu kepada pengusaha yang mengakibatkan tanah ulayat tersebut tidak lagi menjadi aset suku pemiliknya kegiatan hal tersebut harus didapat dijadikan pertimbangan sebelum menerapkan program livelihood diderah terkait.

Pengaruh struktur dan proses terhadap kegiatan livelihood; Pelarangan pedagang kaki lima untuk berjualan di jalan-jalan tertentu akan secara otomatis memaksa para pedagang tersebut merubah kegiatan livelihoodsnya. Ketika sebuah organisasi BAZIS/LAZISWAF memberikan dukungan keuangan bagi orang-orang yang memiliki kegiatan membuat batu bata maka beramai-rami orang akan beralih menjadi pembuat batu bata apapun kegiatan livelihoodnya selama ini.

Pengaruh struktur dan proses Terhadap faktor kerentaan, gabungan dari kedua faktor diatas menjadi penting pengaruhnya kepada kerentaan bisa nyata dalam kasus-kasus berikut; Kebijakan bisa mendorong atau mencegah terjadinya pengalihan fungsi lahan, Kenaikan BBM pada skala global adalah kebijakan yang dihasilkan oleh tawar menawar antara pedagang minyak internasional. Akibatnya orang beralih ke bioenergi dan akan menurunkan penambangan minyak. Kebijakan nasional menaikkan harga minyak membuat masyarakat semakin rentan karena daya belinya menurun, Kebijakan fiskal dan moneter adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah akan berakibat apakah akan menguatkan sumber daya manusia orang miskin atau suasana yang diharapkan pengusaha., Kebijakan pemerintah untuk membangun sistem kewaspadaan dini merupakan upaya mencegah banyak korban ketika terjadi bencana, Sebagai upaya untuk menghasilkan aset yang kuat agar kegiatan/strategi livelihood bisa berjalan optimal, Aset yang ada dapat dirubah menjadi aset lain, Satu jenis aset dapat diganti dengan jenis aset lainnya. ,

DIAGRAM YANG MENGHUBUNGKAN ELEMEN KUNCI SLA

Elemen Kunci SLA terdiri dari dua aspek pertama Livelihood : berarti penghidupan, mencakup; Kapasitas/ Kemampuan, Aset dan Kegiatan, kedua adalah Berkelanjutan (Sustainable) hal ini terindikasi dari kemampuan program menghadapi perubahan, Tahan terhadap tekanan dan goncangan, Menguatkan kehidupan mencapai hasil yang diharapkan

Kunci Kekuatan : Penguasaan Aset, Proses dan Kegiatan adalah terdapat pada besar/kecilnya, keragaman, dan keseimbangan penguasaan aset. Serta kebutuhannya terhadap sejumlah aset untuk mencapai hasil-hasil livelihoods yang positif. Dan perlu disadari karena satu jenis aset bisa bermakna ganda

KESIMPULAN

Penerapan konsep SLA akan menjadi berhasil jika mengacu pada empat pendekatan sebagai berikut; Menganalisis fenomena kemiskinan, Merumuskan tujuan untuk meningkatkan livelihood masyarakat miskin, Panduan tentang prinsip pengentasan kemiskinan, Pendekatan pembangunan.

Dan untuk mendapatkan hasil yang optimal dalam menerapkan Konsep SLA, maka dalam melaksanakan program pemberdayaan masyarakat harus mengikuti prinsip-prinsip sebagai berikut; Berpusat Pada Manusia/ Masyarakat, Fokus pada Kemiskinan, Responsif dan Partisipatif, Menyeluruh, Multi Level, Multi Sektor dan Sistemik, Dilaksanakan Secara Kemitraan, Berkelanjutan, Dinamis, Keadilan, Menjunjung Hak Asasi Manusia

Seluruh Elemen Livelihood saling mempengaruhi. Oleh karena itu, program pemberdayaan ZISWAF yang dilakukan secara sustaInable agar memperkuat aset, akses, kegiatan dan capaian kesejahteraan masyarakat miskin. Sustainabilitas pemberdayaan merupakan kata kunci.

Agar proses pemberdayaan dan kegiatan ZISWAF dapat meraih capaian yang optimal, maka diperlukan identifikasi struktur, proses dan kegiatan mana saja yang berpengaruh besar baik sebagai pendorong maupun penghambat capaian kegiatan pemberdayaan.

Dampak dukungan ZISWAF terhadap Livelihood masyarakat miskin akan berkelanjutan kalau dukungan aset yang diberikan bisa menghasilkan kegiatan yang menguatkan aset dan akses sehingga mampu menghadapi faktor faktor yang mengakibatkan kerentanan.

Program pemberdayaan ZISWAQ yang kurang memberdayakan, sudah saatnya direvisi dengan pendekatan konsep SLA yang berkelanjutan, karena tujuan utama SLA adalah berpusat pada manusia atau masyarakat bukan pada pelaksanaan program, jadi orientasinya bagaimana masyarakat bisa terperdaya dan selanjutnya dengan selesainya program masyarakat bisa tetap dapat meneruskan program secara mandiri.

Disarikan dari makalah

Oleh ; mustaine

Januari 22, 2008

Memetakan Faktor Kemiskinan

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 8:58 am

Oleh DJOKO SUBINARTO

Ada berita bagus diembuskan dari laporan keterangan pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat sebagaimana dilansir media belum lama ini. Berita bagus itu adalah naiknya laju pertumbuhan ekonomi Jabar dari 5 persen menjadi 6,2 persen.

Namun, di balik berita bagus tersebut terdapat pula berita tidak sedap, yaitu angka kemiskinan di Jabar tahun ini ternyata meningkat dari 28,29 persen menjadi 29,05 persen. Angka ini berada di atas angka kemiskinan nasional yang mencapai sekitar 18 persen.

Masalah kemiskinan, berapa pun angkanya, merupakan masalah yang tidak boleh dibiarkan. Adalah tugas pemerintah untuk mengentaskan rakyatnya dari setiap ancaman dan belenggu kemiskinan. Sebuah pemerintahan bisa saja dituding sebagai penjahat hak asasi manusia jika pemerintah tersebut membiarkan rakyatnya tetap berada dalam belitan kemiskinan. Artinya, membiarkan kemiskinan adalah sebuah kejahatan.

Terkait dengan terjadinya peningkatan angka kemiskinan di wilayah Jabar, adalah tugas Pemerintah Provinsi Jabar untuk segera melakukan langkah strategis tepat sasaran, yang menyentuh persoalan mendasar dalam mengatasi masalah kemiskinan di provinsi ini.

Tidak sedikit yang menilai, dari dahulu hingga sekarang program penanggulangan kemiskinan, baik yang bersifat lokal maupun nasional, lebih merupakan program penanggulangan sesaat. Jadi, hal itu bukan sebuah program penanggulangan yang berkelanjutan dan benar-benar menyentuh persoalan mendasar. Dengan demikian, penanggulangan kemiskinan masyarakat lebih bersifat parsial.

Dalam konteks ini, untuk bisa melepaskan sebuah masyarakat dari kemiskinan yang membelenggunya, para pembuat kebijakan harus mengetahui lebih dahulu faktor-faktor yang memberikan kontribusi bagi tercipta dan terpeliharanya kemiskinan. Lima faktor

Analis masalah-masalah sosial menengarai adanya paling tidak lima faktor utama kemiskinan. Pertama, ketidaktahuan yang bisa terjadi akibat kurangnya informasi atau pengetahuan. Padahal, kata pepatah Barat, pengetahuan itu adalah kekuatan. Knowledge is power, demikian bahasa kerennya. Suatu kelompok masyarakat bisa terbelenggu oleh kemiskinan akibat kurangnya informasi atau pengetahuan yang mereka butuhkan. Informasi dan pengetahuan dapat diperoleh lewat pendidikan.

Dengan demikian, untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan, pendidikan-baik formal maupun informal-ikut memainkan peran yang sangat strategis. Sayangnya, di negeri ini pendidikan demikian mahal. Tidak sedikit warga masyarakat kesulitan memperoleh pendidikan. Padahal, lewat pendidikan ini mereka bisa mendapatkan berbagai pengetahuan dan informasi yang sangat mereka butuhkan, sekaligus sangat bermanfaat bagi pengembangan kualitas kehidupan mereka.

Kedua ialah penyakit. Tatkala masyarakat memiliki tingkat penyakit yang tinggi, produktivitasnya akan rendah. Jika produktivitas rendah, kesejahteraan akan berkurang. Kesejahteraan yang berkurang jelas akan menyumbang tercipta dan terpeliharanya kemiskinan. Pada titik ini masyarakat yang sehat, yang bebas dari ancaman penyakit, berkontribusi besar bagi lenyapnya kemiskinan.

Pada titik yang sama, kondisi ekonomi baik perorangan maupun kelompok akan lebih sehat pula jika masyarakatnya juga sehat. Dengan demikian, akses yang mudah, murah, dan cepat terhadap berbagai fasilitas kesehatan merupakan salah satu hal yang akan berpengaruh besar dalam upaya pemberantasan kemiskinan dalam sebuah masyarakat.

Ketiga, apatis, yaitu ketika seseorang atau sekelompok orang sudah tidak mau peduli atau merasa tidak memiliki kekuatan apa pun untuk membuat perubahan. Apatis kerap menggiring pada terciptanya fatalisme yang menjadikan orang atau sekelompok orang menerima saja apa yang dihadapi dan menilainya sebagai sebuah takdir tanpa lebih dahulu mau melakukan tindakan atau ikhtiar apa pun. Padahal, setiap individu diciptakan dengan dibekali berbagai kemampuan dan kelebihan yang harus bisa dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk bisa meningkatkan kualitas kehidupannya. Sikap apatis tentu saja tidak boleh berkembang dalam masyarakat.

Keempat, ketidakjujuran. Ketika sumber-sumber daya yang mestinya dimanfaatkan untuk kesejahteraan umum tiba-tiba dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi, di sinilah telah terjadi ketidakjujuran. Ketidakjujuran seperti ini bisa menjadi penyebab timbulnya kemiskinan dalam sebuah masyarakat. Hal seperti ini bisa terjadi oleh adanya pihak-pihak di masyarakat yang menyalahgunakan kepercayaan dan wewenang yang diembannya.

Menurut para pakar ekonomi, jumlah sumber daya yang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi akan sangat berdampak bagi terciptanya penurunan yang jauh lebih besar dalam kesejahteraan sebuah masyarakat. Hasil sejumlah kajian menyimpulkan, ketika seorang pejabat pemerintah katakanlah menerima suap sebesar Rp 10 juta, investasi masyarakat akan menurun hingga Rp 40 juta.

Kelima, ketergantungan yang muncul karena terpeliharanya sikap dan keyakinan lebih suka menerima ketimbang berusaha dengan memanfaatkan segala inisiatif dan potensi. Ketergantungan merupakan sikap dan keyakinan bahwa mereka yang miskin tidak berdaya dan tidak bisa mengubah dirinya kecuali mengandalkan bantuan dari luar. Untuk jangka panjang, sikap dan keyakinan seperti ini tidak bagus bagi perkembangan masyarakat dan justru akan melanggengkan kemiskinan dalam sebuah masayarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu upaya yang bisa ditempuh untuk mengatasi ketergantungan ini. Melahirkan faktor ikutan

Kelima faktor utama kemiskinan tersebut pada gilirannya akan melahirkan faktor-faktor ikutan lain, yaitu infrastruktur yang tidak memadai, ketiadaan pasar, buruknya kepemimpinan, lemahnya pemerintahan, lemahnya penegakan hukum, pengangguran, kurangnya keterampilan, sifat malas dan tidak kreatif, kurangnya modal, dan sebagainya. Setiap faktor pada hakikatnya merupakan masalah sosial yang dipicu salah satu dari lima faktor utama tersebut.

Untuk memecahkan masalah kemiskinan di Jabar, Pemerintah Provinsi Jabar harus benar-benar jeli dan mampu melakukan pemetaan kelima faktor utama kemiskinan tersebut. Kenapa? Karena faktor utama kemiskinan di antara satu daerah dan daerah lainnya akan berbeda. Faktor utama kemiskinan di daerah pantai utara, misalnya, tidak sama dengan faktor utama kemiskinan di daerah Garut selatan. DJOKO SUBINARTO Penulis Lepas, Mengajar untuk Universitas ARS Internasional, Bandung

November 28, 2007

Makna Gharmin Sebagai Mustahik Zakat

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 8:39 am

Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc.
Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional

Allah SWT berfirman dalam QS. At-Taubah [9] ayat 60: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Dalam ayat tersebut dikemukakan, bahwa salah satu asnaf yang termasuk kategori mustahik zakat adalah gharimin, yaitu orang atau kelompok orang yang memiliki utang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk melunasinya. Para ulama membagi kelompok ini menjadi dua bagian, yaitu kelompok yang mempunyai utang untuk kebaikan dan kemaslahaan diri dan keluarganya. Misalnya untuk membiayai dirinya dan keluarganya yang sakit, atau untuk membiayai pendidikan.

Yusuf al Qaradhawi mengemukakan salah satu kelompok yang termasuk gharimin adalah kelompok orang yang mendapatkan berbagai bencana dan musibah, baik pada dirinya maupun hartanya, sehingga mempunyai kebutuhan mendesak untuk meminjam bagi dirinya dan keluarganya. Dalam sebuah riwayat di kemukakan oleh Imam Mujahid, ia berkata, tiga kelompok orang yang termasuk mempunyai utang: orang yang hartanya terbawa banjir, orang yang hartanya musnah terbakar, dan orang yang mempunyai keluarga akan tetapi tidak mempunyai harta sehingga ia berutang untuk menafkahi keluarganya itu.

Kelompok kedua adalah kelompok orang yang mempunyai utang untuk kemaslahatan orang atau pihak lain. Misalnya orang yang terpaksa berutang karena sedang mendamaikan dua pihak atau dua orang yang sedang bertentangan, yang untuk penyelesaiannya membutuhkan dana yang cukup besar. Atau orang yang dan kelompok orang yang memiliki usaha kemanusiaan yang mulia, yang terpaksa berutang untuk memenuhi kebutuhan usaha lembaganya. Misalnya yayasan sosial yang memelihara anak yatim, orang-orang lanjut usia, orang-orang fakir, panitia pembangunan masjid, sekolah, perpustakaan, pondok pesantren dan lain sebagainya.

Mari kita tunaikan zakat, infak, dan shadaqah untuk kita salurkan kepada fakir-miskin, maupun kelompok gharimin yang semakin hari jumlahnya semakin banyak. Semoga Allah SWT meringankan beban dan memudahkan segala urusan kita semuanya. Amin.

Laman Berikutnya »

Blog di WordPress.com.