InfOz pLu$

November 12, 2007

Peradaban Zakat, Berharap pada Indonesia

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 11:09 am

Kami mengharapkan, Pemerintah Indonesia bisa mewakili negara-negara muslim di dunia untuk menyuarakan pentingnya penggalian sumber dana zakat, untuk meringankan penderitaan orang-orang miskin.
Prof Aluddin Zatari, Mufti Syria.

Para pengelola, praktisi, dan tokoh zakat Asia Tenggara, baru usai menghadiri perhelatan konferensi Zakat Asia Tenggara II, di Padang, Sumatera Barat. Sebelumnya, konferensi serupa diadakan untuk kali pertama Pada 2006, di Kula Lumpur, Malaysia. Di negeri Jiran itu, salah satu kesepakatan yang ditelurkan, terbentuknya Dewan Zakat Asia Tenggara (DZAT), sebagai organ penghubung institusi zakat dan masyarakat zakat di kawasan serumpun.

Dalam konferensi kedua ini, peserta berhasil mencetuskan tujuh rekomendasi. Dari tujuh butir rekomendasi itu, ada tiga butir yang istimewa untuk Indonesia sebagai tuan rumah. Yakni butir 4, 5, dan 6. Kelihatannya, amanah konferensi sangat berharap banyak, pada kebijakan pemerintah Indonesia pada masalah zakat. Harapan itu cukup relefan, mengingat Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar.

Bunyi dari tiga butir itu adalah: Butir 4, Perlu dikaji dan dipertimbangkan agar peran organ pemerintah yang mengatur masalah zakat dapat ditingkatkan kapasitasnya, baik dalam tingkatan Kementerian atau minimal Direktorat Jenderal. Butir 5, Meminta kepada pemerintah, DPR, organisasi zakat dan masyarakat luas mengusahakan dan memperjuangkan agar UU yang berkaitan dengan zakat dapat diamandemen/direvisi sehingga zakat berperan secara maksimal sebagai sumber dana pembangunan umat. Butir 6, Meminta kepada Pemerintah dan DPR agar zakat dapat/boleh mengurangi Pajak/Cukai.

Pembacaan rekomendasi di hadapan puluhan wartawan itu, disuarakan oleh Direktur Zakat, Departemen Agama, Nasrun Harun. Juga didampingi Staf Ahli Menteri Agama, Tulus, dan Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), KH Didin Hafidhuddin. Wali Kota Padang, Fauzi Bahar selaku tuan rumah yang menggelar event internasional itu, turut pula tampil dalam pembacaan rekomendasi. Suasana bersejarah itu, disaksikan oleh perwakilan negara-negara peserta. Malaysia, Australia, Jerman, dan Syria.

Bagi gerakan zakat di tanah air, tiga butir dalam rekomendasi itu sebuah dukungan besar pada masa depan zakat Indonesia. Rekomendasi yang lahir dari sebuah konferensi antar negara, mestinya mempunyai taji untuk mempengaruhi kebijakan. Setidaknya pihak-pihak terkait mendengarkan, mempertimbangkan, untuk kemudian memutuskan.

Melihat, gegap gempitanya helat zakat di ranah minang hari itu, para pejuang zakat, masyarakat, dan mustahik pastinya menunggu kelanjutan tujuh rekomendasi itu, penuh harap dan hati berdebar. Tujuh rekomendasi itu, sebagaimana ditegaskan Nasrun Harun, akan disampaikan dalam pertemuan Menteri Agama Brunai Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura atau MABIMS. Hasil dari pertemuan itulah, yang nantinya dapat menjawab realisasi dari tujuh rekomendasi hasil Konferensi Zakat Asia Tenggara II.

Harapkan Indonesia
Dalam sejarah perzakatan dunia di abad ini, konferensi zakat menjadi babak baru dalam ranah gerakan menanggulangi kemiskinan. Nilai-nilai dan peran strategis zakat, dalam kehidupan sosial dibahas dan ditinjau dari berbagai sisi. Masing-masing perwakilan negara peserta memaparkan, bagaimana zakat dihimpun dan diatur dalam pendayagunaannya. Catatan penting yang layak menjadi cermin bagi Indonesia, keberhasilan penghimpunan zakat di negeri tetangga tak lepas dari peran aktif dan keterlibatan langsung dari pemerintahnya.

Sebagaimana diakui Ketua Pusat Pungutan Zakat (PPZ) Malaysia Dato’ Haji Mustafa Abdul Rahman, laju penghimpunan zakat yang tumbuh pesat di Malaysia karena peran penuh dari pemerintah. “Pada masa sekarang ini di Malaysia, pengelolaan zakat mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Pada akhirnya, pemerintah memang harus ikut menangani persoalan zakat. Sebab muaranya pada keputusan, dan kebijakan yang memang harus bersumber dari pemerintah”, ungkap Mustafa.

Maka, dukungan Malaysia atas lahirnya tujuh rekomendasi, yang tiga diantaranya spesial buat Indonesia, menjadi amunisi untuk gerakan zakat di tanah air. Negara-negara serumpun mendukung, agar pemerintah Indonesia mengambil peran lebih pada permasalahan zakat tingkat dunia. Jika Indonesia berhasil menjadikan zakat sebagai instrumen mengurangi kemiskinan, negeri ini sebagaimana diungkapkan perwakilan Syria, menjadi barometer negara-negara di dunia.

“Kami mengharapkan, Pemerintah Indonesia bisa mewakili negara-negara muslim di dunia untuk menyuarakan pentingnya penggalian sumber dana zakat, untuk meringankan penderitaan orang-orang miskin”, kata Prof Aluddin Zatari. Ia seorang mufti berpengaruh di Syiria, yang datang sebagai utusan resmi negaranya.
Aluddin Zatari juga mengungkapkan, zakat menjadi instrumen netral bagi negara-negara mampu untuk membantu negara-negara miskin. Karena saat ini, negara-negara miskin justru menjadi sapi perah bagi negara-negara kaya.

“Semua lembaga internasional terus berupaya untuk menghilangkan angka kemiskinan ini, mereka tidak mampu melakukannya. Yang bisa dilakukan hanyalah memberikan bantuan kepada negara-negara miskin dari negara-negara kaya. Sayangnya, bantuan dari negara-negara kaya kepada negara-negara miskin disertai dengan persyaratan politis”, tandas Zatari.

Sangat masuk akal, jika akhirnya zakat menjadi instrumen yang netral dan adil dalam mengurangi kemiskinan lintas negara. Zakat diberikan orang kaya pada orang miskin tanpa ada syarat sedikitpun. Ia, mengandungi keberkahan, ketulusan, dan keikhlasan. Bahkan Mufti Syria itu, meminta Indonesia memimpin dan membawa resolusi zakat sebagai instrumen membantu negara-negara miskin, ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pun, perwakilan dari Jerman juga berharap lebih pada Indonesia untuk perjuangan zakat ini. Mereka meyakini, jika Indonesia mampu memerankan zakat secara maksimal sebagai instrumen mengurangi kemiskinan, mereka yakin, Indonesia akan menjadi contoh bagi dunia Islam.

Kiranya, tak dapat dielak lagi. Perkembangan zakat di Indonesia telah menjadi sorotan dunia. Negara lain berharap, agar negeri ini mampu melahirkan model dan nilai-nilai zakat yang kelak menjadi tonggak peradaban zakat dunia. Sebagai negara yang dipandang mampu oleh bangsa lain, kepercayaan ini kita ambil sebagai tantangan atau kita abaikan.

Kali ini, kita harus sepakat dengan Pak Cik dari Jiran. Pada akhirnya, pemerintah memang harus ikut menangani persoalan zakat. Sebab muaranya pada keputusan, dan kebijakan yang memang harus bersumber dari pemerintah.

(sunaryo adhiatmoko)

November 11, 2007

Menjaring Potensi Zakat untuk Kesejahteraan Umat

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 9:07 am

Zakat sebaiknya dipungut negara, atau lembaga yang diberi mandat pemerintah untuk mengelolanya.

”Rasulullah SAW hanya satu kali berhaji dalam hidupnya dan hanya tiga kali umrah. Walau sesungguhnya beliau mampu untuk melakukannya berulangkali, tapi tidak dilakukannya. Mengapa, Karena Rasulullah SAW lebih mengutamakan kepentingan umat ketimbang kepentingan pribadinya,”kata Imam Besar Masjid Istiqlal, Ali Musthafa Ya’kub.

Harta yang dimiliki Rasulullah SAW, lebih banyak digunakan untuk membiayai perang, membantu anak-anak yatim dan para janda yang suaminya syahid dalam perang. Harta Rasulullah SAW waktu itu juga digunakan untuk membaiayai keperluan para mahasiswa yang belajar dan tinggal di Masjid Nabawi di Madinah. ”Jadi, mestinya kita harus lebih mendahulukan kepentingan umat dari pada kepentingan pribadi kita dengan mengeluarkan zakat karena bisa mensejahterakan umat,” tutur Ali pada Konferensi Zakat Asia Tenggara II di Padang, Sumatera Barat yang berlangsung 30 Oktober hingga 3 November lalu.

Ali Ya’kub mengaku prihatin dengan kondisi umat Islam Indonesia yang dalam kenyataannya bertolak belakang dengan perilaku Rasulullah SAW. ”Sekarang ini orang lebih suka berhaji maupun umrah ke Tanah Suci berkali-kali, ketimbang memberikan beasiswa bagi pelajar dan mahasiswa yang membutuhkan. Mereka lebih suka umrah di bulan Ramadhan daripada memberi makan orang miskin dan anak yatim,”katanya.

Menurut pakar hadits ini, Ramadhan lalu tak kurang dari 5000 umat Islam Indonesia yang menunaikan ibadah umrah. Tapi giliran membayar zakat, mereka sering berkelit. ”Padahal, dari dana zakat itu bisa digunakan untuk membangun lembaga pendidikan yang baik, membangun sarana kesehatan, serta membantu modal usaha bagi orang-orang kurang mampu,” tuturnya.

Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), Didin Hafidhuddin juga mengungkapan pendapat yang sama. Menurutnya, dana zakat yang dihimpun dari orang kaya, pasti akan bermanfaat bagi orang miskin. Agar bisa terhimpun dengan optimal, dana zakat yang diperkirakan potensinya mencapai Rp 19,3 triliun dari umat Islam Indonesia ini, dikelola oleh sebuah lembaga zakat yang kuat. Di zaman Nabi Muhammad selalu ada petugas zakat. Ada Muadz bin Jabal, ada Ibn Taibah, ada Ali bin Abi Thalib serta sahabat-sahabat lainnya. Mereka menjadi petugas pengelola zakat, menerima zakat dari para muzakki atau menjemputnya kemudian disimpan di Baitulmaal, lalu diserahkan kembali kepada mustahik yang berhak menerimanya.

Sehingga, saat itu pengelolaan zakat terkontrol dengan baik karena ada petugas pengelola zakatnya. Dana zakat harus dikelola oleh lembaga badan amil zakat yang amanah, transparan, profesional dan dipercaya masyarakat maupun pemerintah. Satu-satunya ibadah yang secara eksplisit diungkapkan dalam Alquran ada petugasnya adalah zakat. Seperti pada surat at-Taubah (9) ayat 60 dan 103. Zakat bukanlah urusan pribadi semata, bukan urusan muzakki (orang yang memberi) dengan mustahik (yang menerima zakat). ”Kalau zakat selalu diberikan langsung oleh muzakki kepada mustahik, saya yakin tidak akan menyelesaikan masalah. Paling-paling hanya sebatas sementara yang sifatnya konsumtif,” kata Didin.

Konferensi Dewan Zakat Asia Tenggara tersebut juga merekomendasikan perlunya zakat dikelola setingkat Kementrian atau paling tidak Direktorat Jenderal. Tujuannya, agar penghimpunan zakat lebih optimal, sehingga berbagai masalah yang dihadapi umat sekarang ini bisa teratasi lewat dana zakat.

Rumah Sehat yang dibangun hasil kerja sama Baznas Dompet Dhuafa Republika dengan Masjid Agung Sunda Kelapa yang diresmikan presiden belum lama ini, tidak mungkin bisa dilakukan perorangan. Tapi, karena adanya pengelolaan zakat secara lembaga akhirnya bisa digunakan untuk membangun rumah sehat senilai Rp 5 miliar bagi kaum dhuafa yang ingin memeriksakan kesehatannya. ”Jadi, kalau zakat dikelola secara lembaga manfaatnya akan bisa terasakan oleh orang banyak,” kata Didin.

Hampir di semua negara yang sekarang mengelola zakat dengan baik, seperti Sudan, Kuwait, Arab Saudi, Brunei Darussalam, Singapura dan Malaysia, lembaga amil zakat hanya satu. Sehingga bisa terkoordinasikan dengan baik.

Dirjen Bimas Islam Departemen Agama, Nasaruddin Umar pada konferensi tersebut mengatakan, menurut ajaran Islam, zakat sebaiknya dipungut oleh negara atau lembaga yang diberi mandat oleh negara, dan atas nama pemerintah yang bertindak sebagai wakil fakir miskin untuk memperoleh haknya yang ada pada harta orang-orang kaya. ”Pengelolaan zakat di bawah otoritas badan yang dibentuk negara akan lebih efektif pelaksanaan fungsi dan dampaknya dalam membangun kesejahteraan umat yang menjadi tujuan zakat itu sendiri, dibanding zakat dikumpulkan, didistribusikan oleh banyak lembaga yang berjalan sendiri-sendiri dan tidak ada koordinasi satu sama lain,” kata Nasaruddin.

Wakil Ketua Majelis Ekonomi PP Muhammadiyah, Iskandar Zulkarnaen setuju dengan gagasan tersebut. Negara memiliki sarana dan prasarana. Dengan zakat dikelola negara, maka penghimpunan dana menjadi lebih besar. Saat ini dari sekian banyak lembaga amil zakat yang ada di Indonesia baru terhimpun dana sekitar Rp 800 milyar.”Jadi, zakat itu perlu seperti pajak. Orang harus dipaksa membayar zakat seperti yang dilakukan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq. Kalau nggak, orang pelit untuk membayar zakat,” tegas Iskandar.

Ia mengusulkan, kalau sampai nantinya kementrian zakat berdiri, para pengelola zakat yang selama ini bekerja keras membangkitkan semangat berzakat di Indonesia, lebih baik yang mengurus zakat secara nasional. ”Saya berharap kalau sampai nanti kementrian zakat berdiri, orang-orang yang mengelola zakat selama ini sebaiknya yang direkrut. Mereka itu sudah tahu betul bagaimana mengelola zakat yang baik,” tegasnya.

‘Zakat Bisa Mengurangi Kemiskinan’

Di sela Konferensi Zakat Asia Tenggara II, Sekjen Dewan Fatwa Syria, Aluddin Zatari berkesempatan hadir dan bercerita soal zakat, serta bagaimana seharusnya bantuan negara kaya diberikan kepada negara miskin. Berikut kutipannya.

Apa pendapat Anda tentang konferensi zakat ini?
Konferensi Zakat ini memberi manfaat yang sangat besar bagi kita untuk menimba berbagai pengalaman pengelola Zakat dari berbagai negara. Termasuk bagaimana pengeloaan zakat di Indonesia, di Malaysia, Syria dan negara lainnya.

Bisakah Zakat mengangkat derajat orang-orang miskin ke tingkat yang lebih mulia?
Tujuan utama dari zakat bukanlah menjadikan orang-orang miskin menjadi orang yang dermawan. Melainkan menjadikan seseorang memiliki kekayaan hati. Rasulullah SAW bersabda: ”Bukanlah kekayaan itu kekayaan harta, melainkan kekayaan hati.”

Mungkinkah dengan dana zakat itu kita bisa menghilangkan kemiskinan?
Menghilangkan kemiskinan tidak mungkin. Yang kita bisa lakukan hanyalah meringankan atau mengurangi angka kemiskinan. Dalam prediksi PBB soal pertumbuhan jumlah penduduk di seluruh dunia pada tahun 2010, angka kemiskinan tingkat dunia akan mencapai 60 persen. Semua lembaga internasional terus berupaya untuk menghilangkan angka kemiskinan ini, dan mereka tidak mampu melakukannya.
Sayangnya, bantuan dari negara-negara kaya kepada negara-negara miskin disertai dengan persyaratan politis. Seperti harus melakukan tindakan begini, ataupun menghilangkan kegiatan yang begini. Padahal zakat yang diberikan dari orang kaya kepada orang miskin tanpa ada syarat sedikitpun.
Karena itu, kita mengusulkan dari konferensi ini perlunya taushiyah atau semacam rekomendasi secara internasional, tentang perlunya negara-negara di dunia seluruhnya untuk memperhatikan penggalian zakat. Bagi orang-orang muslim, zakat itu merupakan suatu ibadah. Sedangkan bagi orang-orang non muslim zakat itu merupakan sebuah kegiatan ekonomi yang mampu meringankan beban kaum fakir. Indonesia bisa mejadi penggerak utama untuk menyampiakan rekomendasi yang diputuskan dalam konferensi ini ke PBB menjadi program bersama.
Kita mengetahui apa yang terjadi di belahan lainnya. Kami berharap Pemerintah Indonesia bisa mewakili Konfernsi Zakat Asia Tenggara ini sebagai wakil negara-negara muslim di dunia untuk menyuarakan pentingnya penggalian sumber dana zakat untuk meringankan penderitaan orang-orang miskin, daripada setiap hari jumlah orang miskin terus mengalami penambahkan.

Kalau begitu mestinya negara-negara kaya dapat menyumbang negara-negara miskin dengan dana zakat?
Memang begitu. Karena ketika negara-negara kaya memberikan bantuan kepada negara-negara miskin dengan dana zakat, bukan untuk tujuan untuk menjadi negara-negara miskin itu menjadi hamba saya negara-negara kaya atau pun menjadi pelayan. Mereka memberi zakat karena memang itu adalah perintah Allah SWT.
Dan ketika kita bicara soal zakat yang dikeluarkan orang kaya dari sakunya, sesungguhnya orang fakir dengan tradisinya langsung akan membelanjakan dana zakat tersebut untuk kebutuhan sehari-harinya kepada orang kaya kembali. Jadi, dana zakat yang diberikan kepada orang miskin akan kembali ke mereka dalam bentuk kegiatan jual beli dan sebagainya. Ini istimewanya zakat. Si pemberi merasa bahagia, si penerima pun merasa bahagia karena tidak ada persyaratan yang melemahkan satu dengan yang lainnya.

(Damanhuri Zuhri )

November 9, 2007

Materi Konferensi DZAT

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 8:00 am

 isu-isu-semasa-agihan-zakat.ppt

zakat-dan-peranan-negara-nasaruddin-umar.doc

penguatan-organisasi-pengelola-zakat-oleh-drs-hm-sukanta-as-msi.ppt

makalah-pembudayaan-nlilai-berzakat.doc

sinergi-zakat-asia-tenggara-hammy-wahjunianto.ppt

strategi-lembaga-pengelola-zakat-dalam-mengurangi-kemiskinan.ppt

standarisasi-pengelolaan-ziswaf-eri-sudewo.ppt

drs-h-tulus.ppt

arifin-mdsalaleh-abdullah-hjsaid.ppt

ahmad-von-denffer.ppt

prof-dr-abd-halim-mohd-noor-ikazuitm.ppt

about-afic.ppt

November 8, 2007

ZAKAT AS A CULTURE IN MUSLIM SOCIETY

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 3:40 am

 

ahmad_van_.jpg

Second Zakat Conference of South East Asia (Padang, Indonesia, 1.11.2007)

Ahmad von Denffer

(Chairman Muslime Helfen, Germany)

 

INTRODUCTION

Having been invited to attend and contribute to the “Second Zakat Conference of South East Asia” as Chairman of one of the Muslim Humanitarian Organizations from outside the South East Asia region, and having been assigned to speak on the subject of “Adopting Zakat as a culture in Muslim society”, I understand the role assigned to me as to shed some light on the question, how the qur’anic institution of zakat may become more deeply rooted and more fruitful among Muslims. I shall attempt to accomplish this to some extent by basing my thoughts initially on guidance fromIslamic sources as well as on some actual insights and experience gained over years of working in an organization that deals with zakat, and also on common sense.

“Muslime Helfen” – which translated into English means something like “Muslims help” or “Muslims assist” (meaning “Muslims are there to help and assist people in need”) – was established by German speaking Muslims in 1985 as an independent charitable humanitarian organization with the purpose to provide assistance to needy people in distressed areas, wars, famines and other emergencies. (For more information please refer to our website www.muslimehelfen.org , which although in German language only, will give you some idea of our activities and projects). Naturally, as is the case with almost all Muslim organizations, some of the funds that are made available to our organization, do come from zakat. However zakat is neither the only source of funds nor the most significant one. Actually “sadaqah” in the wider sense, meaning free and undesignated donations for charitable purposes, seems to be of higher importance to our fundraising department. Nevertheless zakat is a crucial matter too, since we understand the role of our organization – apart from providing assistance to people in need – as also assisting Muslims in our country to discharge their zakat-related duty in an efficient manner.

SPENDING BASED ON FAITH

Discussing the issue of zakat, more often than not Muslim scholars, authors and speakers deal with it as a matter of rules and regulations, of weights, figures and percentages. Important as they are, I shall not touch upon these rules of zakat, since they refer to the implementation. The question I shall deal with is not implementation, but “implantation”, i.e. which measures are we to take to ensure that zakat becomes an integral part of Muslim society.

At this point I would like to make a statement which may initially sound controversial. However if you look at it more closely, it will be easily understood. This statement is as follows: Zakat is spending based on faith and conviction rather than based on the letter of the law.

Now let me explain: When I say “Zakat is spending based on faith and conviction rather than based on the letter of the law” I do not mean to belittle the importance of the various rules and regulations related to zakat. They are without doubt essential for the implementation, and all in all they are derived from thesunnah of the Prophet Muhammad (s).

Rules and regulations however are observed and followed by people only, if either they are enforced, or they are understood. Generally, to observe laws, is not what people are likely to do. It is an essential part of human nature to take care of one’s own personal interest first. Take the example of the red traffic light. Hardly anyone of us, who drives a car, would be able to claim that he has never ever driven on, while the traffic light was on red. Irrespective of the well-known rule and even irrespective of the high fine that one may have to pay, sometimes traffic rules are broken and when questioned about it, the good excuses put forward are usually based on personal interest: I was in a hurry, I had an important appointment, etc.

On the other hand, in most cases we do observe the traffic rules, and this is because either we are forced to, or because we understood. We all know that when caught the fine imposed by traffic-police would be high. At times we may even loose our driving-licence. If we would all drive with highest speed irrespective of other drivers legitimate interest to also use the roads and cross the junctions, not only other peoples healths and lives would be at risk, but also our own health and life. Realizing this, we understand that it is in our own interest and for our own good to take note of and pay attention to the need of others.

The same is true with regards to zakat. In some Muslim societies, there may even be laws in force that would compel people to pay their zakat. However, in most Muslim societies, it is left to each and every individual’s discretion as to whether he or she will pay zakat or not. We may under these circumstances describe zakat as a “voluntary, self-imposed taxation”, since in most Muslim societies it cannot be legally enforced and those, who do not observe, cannot be legally punished.

Interestingly enough, the qur’anic approach seems to take care of that particular situation. Whatever Qur’an tells us about zakat primarily, is not dealing with rules and regulations. Rather Qur’an is relating zakat to faith. Already at the very beginning of suratu-l-baqara, thesurah following immediately after the introductory suratu-l-fatiha, we read:

“Alif. Lam. Mim. This is the Scripture wherein there is no doubt, a guidance unto those who ward off (evil); Who believe in the unseen, and establish worship, and spend of that We have bestowed upon them; (2:1-3)

Muslim scholars interprete “establish worship” as referring to the five daily prayers, and “spend of that We have bestowed upon them” as referring to the institution of zakat. Both, prayer – as-salah – as well as zakat are preceded by “believe in the unseen”, which is “iman”, or faith. Belief in “al-ghaib – the unseen” is not primarily belief in spirits, ghosts and jinns.Tabari in his tafsir explains “they believe – yuminun “ as “they “they hold for true” and “they declare to be true – yusaddiqun“ (based upon Ibn Abbas ) as well as “they fear – yakhshaun”. Furthermore he quotes az-Zuhri saying: “Faith means action – al-iman al-’amal” and also “al-iman at-tasdiq” (Abd Allah). With regardsto “al-ghaib – the unseen” this refers according to Ibn Mas’ud as quoted by Tabari to “what is hidden from the servants (of Allah) regarding paradise and fire (of hell)” and according to Qatada to “paradise and fire and resurrection after death and day of resurrection.”

REWARD AND PUNSIHMENT

Now with this reference to the “Day of Resurrection” we do have an element of “law and punishment”, because since zakat is a prescribed duty for Muslims, whosoever evades it, must expect to be held responsible for it on theDay of Judgement.

Abu Huraira reported God’s messenger as saying, “If any owner of gold or silver does not pay what is due on it, when the day of resurrection comes plates of fire will be beaten out for him, they will be heated in the fire of jahannam, and his side, forehead and back will be cauterised with them …” (Muslim) andAbu Dharr reported the Prophet as saying “If any man has camels, cattle or sheep on which he does not pay what is due, they will be produced as large and fat as can be on the day of resurrection and will trample him with their hoofs and gore him with their horns. As often as the last of them pass him the first of then will be brought back to him until judgement is pronounced among mankind.” (Bukhari, Muslim)

However, the fear of punishment on the Day of Resurrection depends on faith, and there is no fear of such punishment, unless there is belief in resurrection and in life in the hereafter.

Similarly, the hope for reward in the life to come, follows from belief in Allah. There are many references in the Qur’an to the reward for those who spend and pay zakat. Their reward will be paradise. I shall quote only two examples:

“Far removed from it (the fire) will be the righteous, Who giveth his wealth that he may grow (in goodness), And none hath with him any favour for reward, except as seeking (to fulfil) the purpose of his Lord Most High. He verily will be content.” (92:17-21)

“Successful indeed are the believers, Who are humble in their prayers, and who shun vain conversation, And who are payers of the poor-due (zakat)…” (23:1-4) … “These are the heirs, Who will inherit Paradise. There they will abide.” (23:11-12)

FOR THE SAKE OF ALLAH

However, even before belief in the unseen including belief in the coming of a day of Judgement and belief in reward and punishment, there is faith in Allah, and Qur’an tells of “the righteous ones – al-abrar” in paradise:

“Lo! The righteous shall drink of a cup whereof the mixture is of water of Kafur (camphor), A spring whereof the slaves of Allah drink, making it gush forth abundantly, (Because) they perform the vow and fear a day whereof the evil is wide-spreading, And feed with food the needy wretch, the orphan and the prisoner, for Love of Him, (Saying): We feed you, for the sake of Allah only. We wish for no reward nor thanks from you; Lo! We fear from our Lord a day of frowning and of fate.” (76:5-10)

Again, in suratu-l-baqara we read:

“It is not righteousness that ye turn your faces to the East and the West; but righteous is he who believeth in Allah and the Last Day and the angels and the Scripture and the Prophets; and giveth his wealth, for love of Him, tokinsfolk and to orphans and the needy and the wayfarer and to those who ask, and to set slaves free; and observeth proper worship and payeth the poor-due …” (2:177)

Central here is the motivation for giving one’s wealth. The righteous one feeds with food and gives his wealth “for love of Him”, which means “for the sake of Allah” or “out of love for Allah”. Love for Allah” here is the opposite of “fear of the Day of Judgement.” What you give out of fear, is given and surrendered, but not voluntarily, out of your own free will. Somehow you are compelled to it. What you give out of love is voluntarily given and surrendered, not only out of your own free will, but keenly and with eagerness and joy.

Let me transgress here for a minute or two: The above is an impressive example of how the words of Qur’an conveys a multi-level understanding by a single expression. One level of understanding does not at all exclude another one, to the contrary, each level of understanding refers to another aspect of one and the same subject. For to spend voluntarily and freely,

1. it is necessary to be able to overcome one’s own love for possession of things and therefore to overcome one’s own selfishness.

2. the one who succeeds with this, would also perceive the action that results from this achievement as something desirable and gratifying and therefore he would love “to give”, i.e. actually give readily and with joy.

3. How can one succeed in overcoming one’s love of possessing and one’s own selfishness? Well, if one values Allah’s will higher than one’s own wishes and whims, if one follows the word of Allah, although one’s own selfishness recommends the opposite, if for the sake of Allah one renounces one’s own wanting and will, which means through love for Allah. For actually love is renunciation on my part, is to disregard my own personal interest, is to give up, abandon and surrender myself.

MUSLIM CULTURE AND “AMR BI-L-MA RUF WA NAHI ‘ANI-L-MUNKAR”

Now if it is correct to say that Zakat is spending based on faith and conviction rather than based on the letter of the law, whosoever is concerned with “adopting zakat as a culture in Muslim society” must also be concerned about faith and conviction of Muslims.

In the Qur’an, the Muslim community or society is described in the following words:

“Ye are the best community that has been raised up for mankind. Ye enjoin right conduct (ma’ruf) and forbid indecency (munkar); and ye believe in Allah…” (3:110)

Muslim scholars hold this to mean that “to enjoin right conduct (ma’ruf) and forbid indecency (munkar)” is a prerequisite that Muslims have to meet and fulfil, before they may perceive themselves to be described as “the best community”. In other words: In a society or culture which is described as “Muslim” an activeendeavour to establish what is right and to prevent what is wrong must be undertaken. Since zakat is a duty laid upon the Muslims by Allah and therefore considered to be right and good, active endeavours to establish and implement zakat become a feature and prerequisite of a Muslim society or culture. Of course there are many ways for “amr bi-l-ma ruf wa nahi ‘ani-l-munkar”, and I need not go into details about that here. However it should be understood that an institution concerned with zakat must also in one way or another be concerned with seeking to promote what is good and prevent what is evil.

PEOPLE IN NEED MUST BE TAKEN CARE OF

Part of “ma’ruf” is to take care of people in need. Abu Talha reported Gods messenger as saying, “The most excellent sadaqah consists in your satisfying a hungry stomach.” (Baihaqi)

Mus’ab b. Sa’d told that Sa’d considered himself better than his inferiors, so God’s messenger said to him, “Are you (pl.) given help and provision for any other reason than the presence of your weak ones?” (Buchari)

The word “you” here used is in its plural form and therefore not directed to Sa’d alone. Rather all people are addressed in this manner and they are reminded that if they find themselves better off than others, this should not be understood as a privilege alone but also as an obligation. In order to do justice to his or her role in society, the one who is better off needs to take care of the weak ones.

This is what Qur’an calls “the Ascent” or “the high path”:

“What will convey to thee what the Ascent is! – It is to free a slave, And to feed in the day of hunger, An orphan near of kin, or some poor wretch in misery, And to be of those who believe and exhort one another to perseverance and exhort one another to pity.” (90:12-17)

Furthermore, Allahs messenger (s) said: “Anything good (ma’ruf) is sadaqah.“ (Jabir, Hudhaifa; Buchari, Muslim) and in another hadith this is still further elaborated. Allahs messenger said: “Anything good (ma’ruf) is sadaqah, and it is part of good to meet your brother with a cheerful face and when you pour from your bucket into the container of your brother.” (Jabir, Ahmad, Tirmidhi)

IMAN IS EXPRESSED IN PRACTICAL TERMS BY AMAL SALIH

We have already heard that early companions of the Prophet Muhammad (s) saw the close relationship between faith and action. As az-Zuhri said: “Faith means action – al-iman al-’amal”. By this is meant: Man’s actions reflect his belief. An action based on faith in Allah is commonly called “amal salih – righteous deed”, and iman is expressed in practical terms by “amal salih”. There are numerous references to such actions in the Qur an:

“And whoever hopeth for the meeting with his Lord, let him do righteous work (amal salih) and make none sharer of the worship due unto his Lord.” (18:110)

“Lo! Allah causeth those who believe and do good works (‘amilu-s-salihaat) to enter the Gardens underneath which rivers flow. Lo! Allahdoth what He intendeth.” (22:14)

Although zakat is a prescribed duty to Muslims, whosoever fulfils his obligation will be rewarded for it, and it is in this sense that even fulfilling an obligatory duty such as zakat is at the same time a righteous deed – amal salih. Paying zakat is amal salih, because paying zakat is an action based upon faith.

AMAL SALIH IS SADAQAH AND THE MEANS TO PROVE IMAN

It will be benefical at this point to recall the basic meaning of the root word “sadaqa”, which is “he spoke the truth” and thus the opposite of “he told a lie” (kadhaba). It is used in this way both in the Qur an as well as in various ahadith. However as a technical term “sadaqah” means something else. Raghib al-Isfahani in his explanation of the term gives us the clue as to how these two meanings are related. He wrote: “as-sadaqah is what a man hands over of his property with regards to drawing near (to Allah) such as az-zakat, however as-sadaqah actually means the voluntary (donation) und zakat the obligatory one, and the obligatory one is called sadaqah, when its owner aims (by it) for truthfulness (as-sidq) in his action.”

In other words: By means of sadaqah a believer makes come true by his action what otherwise he expresses by words. Or put even more simple: sadaqah is the “amal salih” which “makes” faith (iman) come “true” by action.

ZAKAT IS ONLY ONE PART OF THE WIDER CONCEPT OF SADAQAH

Zakat is only one part of the wider concept of sadaqah. It is specially concerned with material things, which people may earn and own. However there are many other forms of sadaqah. Jabir and Hudhaifa reported Gods messenger as saying, “Every act of kindness is sadaqah.” (Bukhari, Muslim)

Abu Musa al-Ash’ari reported Gods messenger as saying that every Muslim must give sadaqah. He was asked how this could apply to one who had nothing and replied that he should work hard with his hands, gaining benefit for himself thereby, and give sadaqah. He was asked what would happen if he were unable to do this or did not do it, and replied that he should help one who was in need and sad. He was asked what he should do if he did not do that and replied that he should enjoin what is good. He was asked what he should do if he did not do that, and replied that he should refrain from evil, for that would be sadaqah for him. (Bukhari, Muslim)

Abu Huraira reported Gods messenger as saying, “Forgiveness was granted to an unchaste woman who coming upon a dog panting and almost dead with thirst at the mouth of a well, took off her shoe, tied it with her head-covering, and drew some water for it. On that account she was forgiven.” He was asked whether people received a reward for what they did to animals, and replied, “A reward is given in connection with living creature.” (Bukhari, Muslim)

Anyone who is concerned with zakat will of course be aware that zakat is but one although specific form of sadaqah. Its purpose has been described by Qur an as follows:

“Take sadaqah of their wealth, wherewith you mayst purify them and mayst make them grow and pray for them. Lo! Thy prayer is an assuagement for them. Allah is hearer, knower.” (9:103)

This refers to the person that pays zakat, He is the one who benefits from it by gaining purification and growth. As to the recipients of zakat, the Qur’an explains that zakat is a means to provide them relief and assistance, of which they are in need:

“They ask thee (o Muhammad) what they shall spend. Say: That which ye spend for good (must go) to parents and near kindred and orphans and the needy and the wayfarer. And whatsoever good ye do, lo! Allah is Aware of it. “ (2:215)

Finally, as to the extend of spending, Qur’an explains that there is no real limit:

“… And they ask thee what they ought to spend. Say: That which is superfluous. Thus Allah maketh plain to you (His) revelations, that haply ye may reflect.” (2:219)

Since there are always people in need, and since zakat is an annual duty, paying of zakat, receiving it and distributing it is an unending, ever-recurring enterprise. Abu Huraira reported Gods messenger as saying, “Sadaqah does not reduce property.” (Muslim)

This is normally understood to be an encouragement for people to pay their zakat and not to worry that they might have to face a reduction or loss in property. However taken in the context just mentioned, this word of the Prophet (s) also indirectly implies that in this world the issue of zakat will never be fully accomplished and therefore requires continuous attention. For if sadaqah does not reduce property, it also means that after a year has passed, zakat becomes again incumbent on it, and so the process of purification and growth continues. Thus zakat remains a continuous source of support for the needy and blessings for the donors.

Muslim institutions collecting zakat funds and distributing them should place special emphasis on this when introducing their work and their projects to the general public and to the donors of zakat. They should provide special and detailed information in particular about the phenomenon of growth and development, which occurs after purification in sound projects and takes shape in many forms of blessings.

TRUSTWORTHYNESS AND RELIABILTY

Last not least let me address a very practical issue: In order to be able to serve people in need funds are required, and zakat provides such funds. As pointed out, although zakat is prescribed by Islam as fundamental duty and may therefore also be called “ a law”, nevertheless in most Muslim societies it still is more a “voluntary self-imposed tax” rather than a “legal obligation” in terms of applicable state-law.

Muslims as believers will in principal be ready and prepared to pay their zakat. However, in order to encourage them even more, they will need to be convinced that the hard-earned money and property they hand over will be put to proper use and benefit those, who it is intended for. Even in those instances, where zakat is regulated by state-law, there may be reservations to hand over zakat-money to the respective government institutions, because some government institutions are perceived to be corrupt and confidence is lacking that they will distribute the funds in the correct manner. In the majority of cases, zakat money will be taken by non-governmental organizations, and they have to take as much care, if not even more care than governmental institutions to ensure proper handling of zakat and other funds.

Trustworthiness and reliability are crucial in dealing with peoples funds. It is therefore of highest priority that any institution that handles zakat money must deal with it in the most convincing way.

In this regard, one of the basic requirements is transparency. Any institution that receives and distributes zakat money is to publish its balance sheets periodically, informing the public in general and those who paid zakat to it in particular about funds received, funds spent and administrative costs involved. Only in this way can transparency be achieved, and transparency is at the roots of developing credibility and trust.

Another requirement is to spend the money on good and convincing projects. Sure, the categories of recipients entitled to receive zakat money are clearly defined, and scholars have well explained what is meant by these categories today. Still, there are better ways and others, less effective and less efficient, how to put the money to use. Any institution that receives and distributes zakat money is to strive for highest quality with regards to implementation of its projects.

A third requirement is to share with the public in general and those who paid zakat to it in particular the good results brought about by and successful achievements of the institution that deals with zakat money. Usually this is dealt with under the heading of “p-r” – public relations activities. However here I have to remind that not all kinds of such activities are appropriate. More often than not in this type of activities what is considered to override all other considerations is success. You want your institution to appear to be successful, to be first, to be best. You hope that due to this image that you have achieved in public, more and more people will support you. Be aware that for you as a Muslim institution it is not sufficient to appear to be successful, to appear to be first, to appear to be best. Rather you have to appear to be what you actually are.

If the image your institution has in the eyes of the public does not correspond with the true nature of your institutions, you may achieve some short term success and temporary fame. In the long run, you will loose, not only in the hereafter, but also in this world. Sooner or later the discrepancy between what you claim to be as well as what you claim to do on the one hand and what you actually are as well as what you actually do on the other hand will become visible. In this way, all trust and confidence you had initially gained will be lost and those who had previously entrusted you with distributing their zakat money will look for alternative ways and means, provided they have not also been de-motivated and discouraged by their negative experience with your institution and therefore given up paying zakat. Yes, indeed, even that may happen in some cases, and at least partly your misconduct will have been cause to the misconduct of such people.

Honesty and proper accountability are prerequisites to successfully handling zakat money.

Abu Humaid as-Saa’idi said that God’s messenger appointed a man of Azd called Ibn al-Lutbiya to collect the sadaqah and when he returned he said, “This is for you, and this was given me as a present.” So the Prophet delivered an address, and after praising and extolling God he said, “To proceed: I employ men of your number to deal with certain matters which God has entrusted to me, yet one of them comes and says, ‘This is for you and this is a present which was given to me.’ Why did he not it in his father’s or his mother’s house and see whether it would be given to him or not? By him in whose hand my soul is, whoever takes any of it will inevitably bring it on the day of resurrection carrying it on his neck, be it a camel which rumbles, an ox which bellows, or a sheep which bleats.”… (Bukhari, Muslim)

This hadith is not referring to those who collect zakat as mentioned in suratu-t-tauba about recipients of zakat, where it is said: “The sadaqaat are for the poor and the needy and those who collect them, and those whose hearts are to be reconciled, and to free the captives and the debtors, and for the cause of Allah, and for the wayfarers; a duty imposed by Allah. Allah is Knower, Wise.” (9:60)

“Those who collect” sadaqaat, i.e. zakat may be compensated for their efforts involved in an appropriate manner as has been explained by Muslim scholars. Instead the above hadith warns of misappropriation and mishandling of zakat by those who collect zakat, while another instruction has also been issued with regards to those who may receive it:

Abdallah b. ‘Amr reported God’s messenger as saying, “Sadaqah may not be given to a rich man, or to one who has strength and is sound in limb.” (Tirmidhi, Abu Dawud)

What is meant by “one who has strength and is sound in limb” has been put in other words in another hadith as “one who is strong and able to learn a living.” (Ubaidallah b. ‘Adi b. al-Khiyar; Abu Dawud, Nasa’i)

While these words of the Prophet (s) may be understood to relate to sadaqah in its wider sense, and not to zakat as such, still it is clear that in principle they apply to zakat as well.

In other words: For an institution to distribute the zakat money it has been entrusted with in a responsible manner, necessary care has to be taken to see to it that those who receive zakat money and benefit from projects out of zakat funds are the ones these funds are intended for. This may sometimes turn out to be a particular difficult task. However credibility and trustworthiness of an institution and therefore success in this world depend on it, quite apart from Allah’s reward in the hereafter.

Allahs messenger (s) spoke of a man, who said: Most certainly I give sadaqah!, and he went out with a sadaqah and put it in the hand of a thief, and in the morning (people) said:Sadaqah has been given to a thief! (The man) said: O Allah, you be praised, most certainly I give sadaqah!, and he went out with a sadaqah and put it in the hand of an adulteress, and in the morning (people) said: Sadaqah has been given at night to an adulteress! (The man) said: O Allah, you be praised, most certainly I give sadaqah!, and he went out with a sadaqah and put it in the hand of a rich man, and in the morning (people) said: Sadaqah has been given to a rich man! (The man) said: O Allah, you be praised because of the thief and the adulteress and the rich man! Then someone came to him and it was said to him: As to your sadaqah for the thief, it may well be that he tries to abstain from theft, and as to your sadaqahfor the adulteress, it may well be that she tries to abstain from adultery, and as to your sadaqah for the rich man, it may well be that he is taught thereby and will spend from what Allah has given to him.” (Abu Huraira; Buchari)

This of course refers to unintentional mistakes with regards to recipients of zakat and sadaqah. However it is good to know that as long as the right intention (nijja) is there, rewards and blessings of amal salih are never lost.

PRAYER FOR THOSE WHO PAY ZAKAT

Finally, although it may seem to be a minor issue only, it is necessary to remind institutions and persons collecting and distributing zakat of the sunna of the Prophet Muhammad (s), who prayed for the persons, who paid zakat. This is indicated in the verse of the Qur an already quoted above:

“Take sadaqah of their wealth, wherewith you mayst purify them and mayst make them grow and pray for them. Lo! Thy prayer is an assuagement for them. Allah is hearer, knower.” (9:103)

Also Abdallah b. Abi Aufa told that the Prophet said when people brought him their sadaqah, “O God, bless the family of so and so.” (Bukhari, Muslim)

This may also be done in different ways by any institution that deals with zakat today. One of the simple ways is to print these words on the receipt that is being handed over, when zakat money is being received by an institution. Which ever way is chosen, remember:

Whosoever collects, distributes and receives zakat should always remember Allah and pray for the person who made his zakat money available.

CONCLUSION

To conclude, let me summarize: I had been invited to speak on the subject of “Adopting Zakat as a culture in Muslim society”, which I understand as to shed some light on the question, how the qur’anic institution of zakat may become more deeply rooted and more fruitful among Muslims. Any attempt “to adopt zakat as a culture in Muslim society” should be based on the insight that Zakat is spending based on faith and conviction rather than based on the letter of the law. There also references to “rewards and punishments” on the “Day of Resurrection” and therefore to “law” – however central is the motivation for giving one’s wealth. The righteous one feeds with food and gives his wealth “for love of Him”, which means “for the sake of Allah” or “out of love for Allah”.

In a society or culture which is described as “Muslim” an active endeavour to establish what is right and to prevent what is wrong must be undertaken (amr bi-l-maruf wa nahi ’ani-l-munkar). Since zakat is a duty laid upon the Muslims by Allah and therefore considered to be right and good, active endeavours to establish and implement zakat become a feature and prerequisite of a Muslim society or culture. Part of “ma’ruf” is to take care of people in need. In order to do justice to his or her role in society, the one who is better off needs to take care of the weak ones. An action based on faith in Allah is commonly called “amal salih – righteous deed”, and iman is expressed in practical terms by “amal salih”. The word “sadaqah” basicly means “to speak the truth”and it is also used as a term for zakat. Sadaqah is the “amal salih” which “makes” faith (iman) come “true” by action. Zakat is only one part of the wider concept of sadadah. It is specially concerned with material things, which people may earn and own. Muslim institutions collecting zakat funds and distributing them should provide special and detailed information about the phenomenon of growth and development, which occurs after purification in sound projects and takes shape in many forms of blessings.

Muslims as believers will in principal be ready and prepared to pay their zakat. However, in order to encourage them even more, they will need to be convinced that the hard-earned money and property they hand over will be put to proper use and benefit those, who it is intended for. It is therefore of highest priority that any institution that handles zakat money must deal with it in the most convincing way.

One of the basic requirements is transparency.

Another requirement is to spend the money on good and convincing projects.

A third requirement is to share with the public the good results and successful achievements.

Trustworthiness and reliability are crucial in dealing with peoples funds. Honesty and proper accountability are prerequisites to successfully handling zakat money.

Finally, success and reward are solely granted by Allah. Therefore, whosoever collects, distributes and receives zakat should always remember Allah and pray for the person who made his zakat available.

These were the main thoughts that I was able to present to you in this session regarding measures not to be overlooked, if one wishes to “adopt Zakat as a culture in Muslim society”. May Allah forgive our shortcomings and accept whatever useful we do.

November 6, 2007

Trias Politica Zakat

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 4:58 am

Jumat, 02 Nopember 2007
Oleh : Erie Sudewo (Social Entrepreneur) Ada hal menarik dengan digelarnya Konferensi Zakat Asia Tenggara di Kota Padang, 31 Oktober 2007 hingga 3 November 2007. Konferensi ini merupakan lanjutan dari acara serupa yang digelar di Kuala Lumpur Mei 2006. Hal pertama yang menarik, ini tak lain merupakan pertemuan politik. Internasional lagi. Yang kedua, konferensi ini tengah membicarakan bagaimana meningkatkan profesionalisme zakat, yang ujung-ujungnya tentu untuk fakir miskin.

Ketiga yang tak kalah menariknya, Pemkot Padang jadi tuan rumah. Sementara yang lain lebih tertarik mengundang para pebisnis, Pemkot Padang malah ingin mengurus fakir miskin lebih serius. Ini sebuah terobosan politik, yang tentu tak mudah menggiringnya. Tinggal sekarang bagaimana tim di belakang layar, mampu menyiasati agar konferensi ini tak jadi liar. Harus ada sesuatu, agar pengelolaan zakat Indonesia ke depan lebih terarah.

Politik mengenal tiga ranah, yakni politik praktis, high politics, dan hidden politics. Politik yang sehat meramu ketiganya. Tujuannya demi negara. Seseorang yang sukses, jadi pahlawan negerinya. Tapi di negara lain, orang itu bisa jadi dianggap ‘monster’. Itulah politik bernegara. Ketiganya tentu dikenal para praktisi partai politik di Indonesia. Namun praktiknya, politisi kita lebih suka hidden politics. Sayang hidden-nya untuk pribadi, kelompok, atau cuma untuk partainya.

Imbasnya, akhirnya juga melesat ke zakat. Bicara zakat, memang tak lepas dari politik. Sebab seperti yang sebagian ulama katakan, zakat merupakan keputusan politik paling penting dalam Islam. Kata paling penting mengacu pada tiga hal yakni zakat bukan hanya wajib, zakat merupakan satu-satunya ibadah berdimensi ganda: vertikal dan horizontal, dan zakat pun dijadikan Rukun Islam. Pertanyaannya, mengapa zakat yang jadi Rukun Islam? Mengapa bukan bank dan mengapa bukan asuransi? Bukankah zakat hanya untuk fakir miskin? Mengapa kalangan marginal ini yang harus diperhatikan? Inilah substansi ‘politik’ zakat yang menjungkirkan logika berpikir manusia.

Politik praktis
Untuk menjawabnya, tiga ranah politik tersebut bisa dijadikan pembedah. Ditinjau dari politik praktis, tujuan zakat memang jangka pendek. Besarnya yang cuma 2,5 persen langsung ditujukan pada fakir miskin. Karena diwajibkan, semangat zakat pun diterapkan di semua denda. Kedudukan denda jadi wajib atas segala pelanggaran. Seperti dam haji atau kafarat, pasti ditujukan untuk fakir miskin.

Kendati jangka pendek, tujuan zakat tak berhenti di pemenuhan kebutuhan semata. Ada tujuan mulia yang seperti ditegaskan Ibnu Taimiyah agar kita memenuhi kebutuhan agar mereka bisa beribadah normal seperti muzaki. Dalam ibadah, Islam memang tak memaksa. Tapi sebagai sesama Muslim, saling mengingatkan wajib hukumnya. Dan jangan pernah percaya, bahwa si miskin lebih soleh ketimbang si kaya.

Tujuan agar fakir miskin bisa ibadah normal, seperti menyiratkan ancaman bagi si kaya. Padahal itu berarti bahwa keleluasaan beribadah harus juga diberikan pada tetangganya yang tengah kesulitan. Jangan masuk surga sendirian. Dengan zakat, masukilah surga ramai-ramai.

High politics
Dikaji dari sisi high politics, pesan zakat lebih kuat ketimbang pajak. Dengan zakat, pemerintah diajari membangun bangsa. Zakat diprioritaskan khusus untuk mustahik. Kendati luas, pengertian mustahik disederhanakan sebagai kalangan mustadh’afin (tidak mampu). Pemerintah diajari untuk memperhatikan mereka.

Orang kaya memang tak harus sekaya konglomerat. Yang pasti mereka sudah mampu mengatasi persoalan dasar diri sendiri. Lihat saja perbankan dan asuransi. Bukankah itu dibuat untuk mempertahankan comfort zone mereka? Islam memang ajaran sempurna. Tentu tak adil jika Islam menetapkan bank dan asuransi jadi salah satu pilar Rukun Islam. Jika itu terjadi, maka uang akan berputar di antara orang kaya yang itu-itu juga. Dengan zakat, semangat itu diredam dan ketamakan manusia digugat.

Dalam postulat manajemen, kekuatan organisasi terletak di simpul terlemah. Dengan menemukan dan membenahi yang lemah, lembaga manapun akan jadi kuat. Dengan membenahi yang miskin, negara akan tumbuh realistis jadi kuat. Jumlah 120 juta orang miskin bukan simpul namanya. Itu ceruk kelemahan yang menganga lebar, yang siap membetot siapapun untuk jadi miskin. Yang bisa mencegah, hanya pemerintah. Karena bicara kebijakan, itu adalah ranah high politics yang jadi hak penuh pemerintah.

Hidden politics
Zakat ternyata punya sisi hidden politics. Dalam istilah lain adalah hidden agenda. Untuk yang wajib, bilangan dan waktunya jelas seperti shalat hanya lima waktu, puasa yang wajib pun hanya saat Ramadhan. Yang sunah, tak terhingga bilangannya. Islam memang luar biasa. Yang wajib, selalu sedikit jumlahnya. Zakat pun kan cuma 2,5 persen. Selebihnya yang 97,5 persen, suatu angka yang konteksnya boleh tak terhinggaini merupakan kekuatan bilangan tanpa batas ini tampak maknanya bila disingkap dari istilah zakat.

Kata lain zakat adalah sedekah. Sedekah terbagi dua, materi dan non-materi. Yang awam melihat, materi punya peran lebih. Bagi mereka, dengan berzakat 2,5 persen selesailah tugas Rukun Islam ketiga. Padahal jika dikaitkan dengan kandungan kalifah fil’ard, ternyata 2,5 persen itu tak cukup. Tiap orang akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Pemimpin bukan hanya para pejabat atau direktur. Pemimpin adalah minimal dia memimpin dirinya sendiri. Membawa diri sebagai pemimpin, artinya dia harus bisa memberi kebaikan dan kenyamanan bagi lingkungannya.

Maka sebagai muzaki, Presiden SBY berzakat sebesar 2,5 persen. Sebagai presiden, apa sedekah SBY dan juga para pemimpin yang lain?. Sebagai pribadi muzaki, mereka sudah bersedekah dalam bentuk zakat. Namun sebagai pemimpin, mereka harus bersedekah dalam bentuk kebijakan. Hidden agenda zakat memang mulia. Sedekah pemimpin tak lain membangun kehidupan dan peradaban.

September 11, 2007

RAIHLAH PERTOLONGAN ALLAH DENGAN MENUNAIKAN ZIS

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 5:17 am

Dalam meraih segala keinginan dan cita-cita hidup, baik yang berhubungan dengan cita-cita pribadi, keluarga, maupun masyarakat dan bangsa, setiap orang yang beriman selalu memerlukan ikhtiar dan usaha yang serius serta bersungguh-sungguh. Di samping itu, juga senantiasa diperlukan ‘inayah atau pertolongan Allah SWT

Bagi seorang mukmin, rasanya tidak mungkin semua cita-citanya akan berhasil tanpa pertolongan-Nya. Keberhasilan sesuatu, pada hakikatnya adalah paduan yang harmonis antara ikhtiar yang benar dan sungguh-sungguh dengan iradah-Nya. Para pejuang kemerdekaan kita menyadari betul arti perpaduan kedua hal tersebut, sehingga kesadaran ini mereka abadikan dalam Mukaddimah UUD 1945, sebagaimana termaktub dalam alinea ketiga: “Atas berkat rahmat Allah SWT dan dengan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaannya.”

Di dalam al-Qur’an surat al-Hajj ayat 40-41 dikemukakan tentang persyaratan mendapatkan pertolongan-Nya. Bahwa Ia pasti akan memberikan pertolongan kepada setiap orang yang berhak untuk mendapatkannya, yaitu orang-orang yang dimana pun mereka berada dan dalam posisi serta profesi apa pun yang mereka tekuni, selalu melaksanakan tiga aktivitas. Pertama, menegakkan shalat dengan sebaik-baiknya. Kedua, mau mengeluarkan sebagian dari penghasilannya, dalam bentuk zakat, infak, ataupun sedekah. Ketiga, senantiasa aktif dalam menyeru, memelopori dan memberi contoh dalam kebaikan dan mencegah dari perbuatan mungkar yang tercela dan merusak.

Sementara itu, dalam sebuah hadits shahih riwayat Imam Muslim, dikemukakan bahwa Allah SWT akan selalu memberikan pertolongan kepada setiap hamba-Nya yang aktif memberikan pertolongan kepada sesama saudaranya. Ta’awun (saling tolong-menolong) antara sesama manusia, pada hakikatnya adalah upaya untuk meraih pertolongan-Nya. Pertolongan di bumi akan menurunkan pertolongan samawi. Karena itu, ta’awun adalah ciri penting dari orang-orang yang beriman, orang yang ingin meraup kasih sayang Allah, ingin merasakan kelezatan samawiyyah dan nikmat Ilahiyyah.

Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah SAW menyatakan, “Sayangilah oleh kamu makhluq yang ada di bumi, maka kelak akan menyayangimu segala apa yang ada di langit.” Juga dalam hadits yang lain beliau bersabda, “Tebarkan salam (ucapan salam atau pun perbuatan yang menyelamatkan orang lain), hubungkan tali persaudaraan, dan shalatlah pada waktu malam, kelak kalian akan masuk ke dalam syurga dengan penuh kedamaian dan keselamatan.”

Wallahu A’lam bi ash-Shawab.

Oleh: Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc. (Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional)

catatan amil

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 2:46 am

 

31 August, 2007

 

 

 

Surat Untuk Menteri Agama

Semoga Bapak selalu diberikan kesehatan dan bimbingan kebaikan dalam menjalani Aktivitas sehari-hari. Kami tahu betapa banyak tanggung jawab diemban Bapak dalam rangka mengurusi sebagian besar persoalan keagamaan di negeri ini. Mudah-mudahan amanah tersebut dapat ditunaikan Bapak dengan sebaik-baiknya sehingga bukan hanya kualitas kehidupan keagamaan di Indonesia semakin meningkat, tapi juga semua itu akan dicatat sebagai ibadah Bapak yang sangat tinggi nilainya di hadapan Allah SWT .

 

Kami tahu dan mengamati bahwa salah satu masalah yang menjadi perhatian Bapak adalah masalah zakat. Sebuah ibadah wajib bagi setiap muslim dan menjadi salah satu rukun Islam. Bapak juga telah menunjukkan komitmen yang besar untuk memperbaiki kualitas pengelolaan zakat di Indonesia. Kami berharap bahwa komitmen tersebut terus dipelihara dan diimplementasikan dalam kebijakan dan keputusan guna mengarahkan agar zakat dapat termobilisasi dengan baik untuk selanjutnya dapat didayagunakan untuk kepentingan mustahik seluas-luasnya.

 

Dimana untuk dapat memobilisasi dana zakat secara optimal, selain harus didukung oleh manajemen kelembagaan yang profesional, juga harus mampu menimbulkan kepercayaan masyarakat yang luas. Untuk itu, maka perbaikan institusi zakat menjadi keperluan yang mendesak. Bukan hanya jumlahnya yang bertambah, akan tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan kualitas pengelolaan institusi zakat. Karena bukankah masih banyak institusi zakat yang dikelola oleh orang-orang yang tidak memiliki komitmen, pengetahuan dan keahlian yang cukup untuk mengelola zakat ? Hasilnya Bapak juga sudah mengetahui, institusi tersebut tidak berkembang optimal dan pengurusnya hanya menjadi daftar nama saja.

 

Padahal pada kenyataannya, fakir miskin dan kalangan mustahik lainnya sudah sangat menantikan sentuhan zakat untuk dapat memperbaiki derajat kehidupan mereka. Sebuah sentuhan yang bukan hanya membagi-bagi uang zakat yang langsung habis, akan tetapi juga yang memiliki nilai manfaat yang nyata. Khususnya dalam rangka memperbaiki kesejahteraan hidup mereka. Dan sayapun berdoa agar setiap kebijakan Bapak dalam bidang zakat yang membuat orang-orang miskin terbantu, maka doa yang mereka ucapkan, kebaikan dan pahalanya akan sampai juga kepada Bapak.

 

Bapak Menteri yang Insya Allah dimuliakan oleh Allah. Saya yakin Bapak juga sudah memikirkan tentang masa depan zakat di Indonesia. Karena hal ini merupakan masalah penting dalam dunia zakat. Karena kita semua pasti sudah berpikir hendak diarahkan kemana model penanganan zakat di Indonesia ? Kami berharap bahwa Bapak akan mendorong dan mengarahkan agar zakat di Indonesia ini dapat terkelola dengan baik. Meskipun ada banyak institusi zakat, akan tetapi semuanya mampu dijalinkan dalam satu jaringan besar pengelolaan zakat yang satu. Barangkali di sinilah peran Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dapat dioptimalkan, sehinga bisa menjadi rumah besar yang mampu menaungi seluruh institusi zakat.

 

Agar dapat menjadi rumah besar yang mampu meneduhi semua institusi zakat, maka selayaknya Baznas juga diisi oleh orang-orang yang mewakili seluruh kepentingan pengelolaan zakat di Indonesia. Dan tentu saja untuk dapat memperkuat citra pengayom bagi seluruh institusi zakat, Baznas juga harus diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas, kredibilitas dan kompetensi yang cukup untuk menangani masalah zakat dengan segala permasalahannya. Saya bermimpi, jika hal ini diwujudkan dengan dilakukannya uji kelayakan dan kepatutan secara terbuka bagi pimpinan Baznas, maka sungguh ini jauh lebih baik lagi di mata umat.

 

Akhirnya saya berharap bahwa Bapak akan senantiasa diberikan “amanah” yang lebih tinggi dan lebih baik dalam rangka melayani rakyat Indonesia. Dan semua amanah itu dapat dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan dengan bagus, baik kepada pemberi amanah, terlebih lagi di hadapan Al-Khaliq Pemilik alam semesta ini.

 

Mohon maaf jika surat ini menggangu kesibukan Bapak dan mohon maaf pula jika ada kata-kata yang tidak berkenan.

22 July, 2007

Kesejahteraan Amil

Amil zakat (pengelola zakat) adalah profesi yang sungguh menyenangkan. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Amil itu tidak mengenal susah. Waktu masih menganggur, ia berhak mendapatkan dana zakat, karena tergolong fakir miskin. Saat bekerja, ia mendapatkan dana zakat dari hak Amil dan kalau terjadi PHK, kemudian menjadi penganggur, maka ia berhak lagi dapat dana zakat, karena menjadi fakir miskin kembali.

Tetapi menjadi Amil zakat juga sebuah beban. Kalau kelihatan sedikit saja mulai sejahtera, maka Sang Amil akan menjadi “tertuduh”. Bahwa di tengah kemiskinan yang masif di Indonesia, seorang Amil sangat tidak pantas terlihat hidup nyaman. Bahkan banyak masyarakat mengharapkan agar Amil senantiasa hidup prihatin. Kondisi ini selalu menjadi dilema bagi semua Amil.

Standar yang digunakan oleh semua Organisasi Pengelola Zakat (OPZ), untuk membiayai kesejahteraan amil adalah alokasi ashnaf (hak amil) dari harta zakat. Beberapa ahli Fikih zakat menyebutkan bahwa hak amil atas harta zakat adalah 1/8 atau 12,5 % dari keseluruhan total dana yang berhasil dikumpulkan. Tentu saja ada OPZ yang berpandangan bahwa besarnya alokasi untuk Amil tidak harus 12,5 %, karena dasar 12,5 % bukanlah bersandar kepada ayat Al-Quran dan Al-Hadits, akan tetapi hanya ijtihad para ulama.

Bagi sebagian kalangan amil yang berpandangan bahwa merujuk 12,5 % sebagai satu-satunya acuan, maka bagaimanapun kondisi amil atau OPZ, maka 12,5 % harus tetap menjadi dasar pemenuhan kesejahteraan amil. Apabila hal ini dilaksanakan, maka Sang Amil mungkin bisa hidup menderita, karena pada banyak OPZ yang hanya mampu mengumpulkan dana kurang dari 10 juta per bulan, maka 12,5 % untuk menyejahterakan amil, tentu jauh panggang dari api. Apalagi pada OPZ yang baru dirintis atau didirikan, tentulah 12,5 % adalah sebuah angka yang sangat tidak memadai.

Kemungkinan kedua manakala OPZ hanya mengacu kepada dasar 12,5 % untuk kesejahteraan amil adalah amil akan berfoya-foya. Pada beberapa OPZ yang sudah mampu menghimpun dana zakat yang besar dari masyarakat, sementara jumlah amilnya tidak banyak, maka dengan 12,5%, kesejahteraan amilnya akan sangat berlebih. Tentu saja pada akhirnya batas alokasi hak amil 12,5% ini harus diteropong dalam kelayakan, kecukupan dan kewajaran.

Banyak OPZ yang hanya mampu memberikan kesejahteraan kepada amilnya sangat minimalis. Pada kondisi ini banyak amil yang bekerja setengah hati. Bekerja menjadi amil dilakukan sambil menyambi dengan melakukan kegiatan lain dalam rangka mencukupi kehidupan rumah tangga amil. Pada kondisi ini, tidak ada sedikit pun kebanggaan menjadi amil zakat. Bahkan kadang-kadang untuk meningkatkan kesejahteraan, para amil ini berlaku “curang” dengan memanfaatkan alokasi tujuh ashnaf yang lain, baik secara terbuka, maupun dengan cara sembunyi-bunyi.

Tidak sedikit OPZ yang sudah mampu memberikan kesejahteraan memadai kepada amilnya. Penghasilan para amil ini tidak kalah dengan penghasilan pegawai negeri atau beberapa perusahaan swasta. Kesejahteraan yang cukup ini tentu menggembirakan dan membanggakan dunia zakat. Karena hal ini telah membuktikan bahwa profesi amil zakat bukanlah profesi marjinal lagi. Menjadi amil zakat kini bisa menjadi profesi sebagai titik pijak untuk meraih kenyamanan dalam hidup.

Akan tetapi tingkat kesejahteraan memadai yang diperoleh amil haruslah dibarengi dengan sikap kesederhanaan dan rendah hati. Tanpa itu, maka amil zakat akan menjadi angkuh, konsumtif dan demonstratif. Amil zakat seperti ini akan kehilangan makna kepedulian kepada masyarakat miskin yang ada di sekitarnya. Sangatlah mulia apabila amil zakat hidup selalu mawas diri. Meskipun dia mendapatkan penghasilan cukup, akan tetapi ia senantiasa hidup sederhana dan lebih banyak memberikan manfaat dengan membantu kesulitan orang lain.

(Ikuti Polling Kesejahteraan amil di www.amilzakat.blogspot.com)

02 July, 2007

Mantan Preman yang Budiman

Pak Sisco mungkin pada waktu kecil tidak pernah membayangkan bahwa pada suatu hari akan tinggal di Australia. Tumbuh sebagai anak jalanan dan pengamen mengantarkan Pak Sisco menjadi preman di kawasan Blok M Jakarta. Karena terlibat beberapa kali bentrokan dengan preman lainnya, akhirnya Pak Sisco dikejar-kejar oleh sekelompok orang untuk dihabisi nyawanya. Pelariannya dari Blok M Jakarta menuju Surabaya dan kemudian sampai di Bali. Di Pulau Dewata, Pak Sisco bertemu dengan Kathy warga Negara Australia yang kemudian menjadi istri beliau.

 

Dari pernikahan dengan Bu Kathy inilah yang kemudian mengantarkan Pak Sisco menginjakkan kaki di negeri Koala. Setelah merintis beberapa usaha, akhirnya Pak Sisco mampu membuka usaha restoran di kawasan Prahran, sebuah kawasan bisnis di Melbourne Australia. Restoran itu diberi nama “New Blok M”. Restoran ini kemudian terkenal di kalangan masyarakat Indonesia di Australia, khususnya masyarakat Indonesia di Melbourne. Dengan restorannya ini, belakangan Pak Sisco lebih dikenal sebagai Pak’E (dalam bahasa jawa yang artinya Bapak saya).

 

Karena kekhasan makanan Indonesia yang disajikan dan gaya kekeluargaan yang ditampilkan, menjadikan restoran New Blok M makin terkenal. Setiap kali ada orang Indonesia berkunjung ke Melbourne dan merindukan masakan Indonesia, maka Restoran Pak’E lah sebagai pengobatnya. Tak terhitung banyaknya pejabat dan artis Indonesia yang sudah berkunjung dan menikmati kelezatan makanan olahan Pak’E. Bahkan tidak sedikit orang Asia di luar Indonesia yang ada di Melbourne menyambangi restoran Pak’E untuk sekedar mencicipi makanan selera Indonesai.

 

Suatu kali setelah beliau tinggal di Melbourne, beliau berinteraksi dengan mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh studi di Monash University. Dari perkenalan dan perbincangan dengan sang mahasiswa inilah Pak’E menjadi mengenali dan mendalami Islam. Hati beliau kemudian terpaut dengan keindahan dan keunggulan Islam. Untuk selanjutnya beliau tergerak menjadi seorang muslim yang taat.

 

Meskipun sudah begitu mencintai Islam, sampai sekarang penampilan keseharian Pak’E tidak berubah. Dengan rambut gondrong, baju kaos dan dibalut dengan celana jeans. Bahkan rambut gondrong beliau tidak dipotong, meskipun pada suatu kesempatan oleh Konsulat Jenderal (Konjen) Republik Indonesia beliau didaulat menjadi khatib Jum’at. Pernah suatu kali ada orang yang bertanya mengapa beliau berambut gondrong ? Jawaban yang meluncur dari bibir beliau adalah bahwa rambut gondrong memudahkan beliau untuk tidur, ketika tidak ada bantal atau alas lain untuk tidur. Rambut gondrong masih menurut beliau juga bermanfaat untuk melindungi kepala dari cuaca dingin, khususnya di Melbourne yang memiliki musim dingin. Tetapi yang lebih penting bagi beliau adalah karena rambut gondrong membuat beliau merasa nyaman.

 

Tetapi yang lebih menarik dari perilaku Pak’E sekarang adalah kepeduliannya kepada kesulitan orang lain. Setiap kali ada orang Indonesia yang mengalami kesulitan, maka dengan mudahnya beliau mengulurkan bantuan. Dari mulai sekedar mengantarkan orang yang tidak tahu alamat yang mau didatangi di Melbourne, memberikan penampungan sementara kepada orang Indonesia yang misalnya terlunta-lunta atau juga mencarikan pekerjaan kepada orang Indonesia yang menganggur dan mengalami kesulitan hidup. Pendeknya dengan kemurahan hati beliau sekarang, perannya di Melbourne seperti menjadi “Konjen Bayangan” saja.

 

Pernah suatu kali rombongan pejabat berkunjung ke restoran beliau di sela-sela tugas mereka di Melbourne. Setelah Pak’E berkenalan dan menceritakan perjalanan hidup dan perkembangan bisnis restorannya, ada seorang pejabat yang memintanya untuk berkunjung ke rumah beliau. Setelah bertemu di rumah beliau, rupanya sang pejabat tadi tertarik keberhasilan restoran New Blok M dan menawari kerjasama bisnis pengembangan restoran beliau. Dan beliau menjawab seperti ini : “Maaf Pak, saya tidak begitu tertarik dengan penawaran Bapak. Bukannya saya tidak ingin mengembangkan bisnis saya, tapi saya merasa cukup dengan apa yang selama ini sudah saya rasakan”.

 

Menurut Pak’E, yang dirasakan penting sekarang adalah bersyukur dan tetap bersahaja, karena sudah begitu banyak nikmat yang beliau rasakan dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dan banyak menolong orang lain.

Keterangan Gambar :

Yang diapit ahmad juwaini & arif adalah Konjen RI di Melbourne. Pak Sisco adalah yang berdiri sebelah kanan ahmad juwaini yang memakai kaos bergambar mbah Marijan & bercelana jeans

Peradaban Zakat menguak Australia

Ruang seminar Australian Defence Force Academy dari University of New South Wales (UNSW) menjadi saksi sebuah pergelaran pengalaman pengelolaan zakat Baznas Dompet Dhuafa selama hampir 14 tahun, khususnya dalam penanggulangan bencana. Seminar internasional yang merupakan bagian dari The Asia Pacifik Seminar Series ini dihadiri oleh perwakilan pakar Indonesianis dari Australian National University (ANU), Para pengurus Canberra Islamic Center (CIC), Para profesor dari UNSW, perwakilan dari Kedutaan Besar Indonesia dan mahasiswa-mahasiswi UNSW.

 

Tampil sebagai pembicara mewakili Baznas Dompet Dhuafa adalah Ahmad Juwaini dan Arif Abdullah yang secara lugas memaparkan pentingnya mobilisasi dan pendayagunaan dana Zakat, Infak dan Sedekah dalam penanggulangan bencana. Pada kesempatan seminar itu juga dibicarakan mengenai besarnya proporsi dana zakat terhadap keseluruhan dana pada saat terjadi bencana, universalitas penanggulangan bencana yang tidak mengenal ras dan agama, potensi dana sosial Australia untuk membantu bencana di Indonesia serta manfaat program sosial Baznas Dompet Dhuafa dalam membantu orang miskin di Indonesia.

 

Dan akhirnya, sebagai puncak dari diskusi dalam seminar tersebut juga dibicarakan kemungkinan kerjasama Baznas Dompet Dhuafa untuk melakukan edukasi dan mengembangkan pengelolaan zakat di Australia pada umumnya dan di Canberra pada khususnya.

 

Harapan masyarakat Australia tentang peningkatan pengelolaan zakat di negaranya menjadi sangat relevan. Karena bersamaan dengan seminar ini, utusan Baznas Dompet Dhuafa juga melakukan serangkaian kunjungan ke berbagai organisasi dan komunitas muslim yang memiliki potensi untuk diajak kerjasama dalam pengembangan zakat di Australia. Organisasi dan komunitas muslim yang diajak kerjasama oleh Baznas Dompet Dhuafa menyebar dari mulai wilayah Adelaide, Melbourne, Canberra dan Sydney.

 

Begitu antusias berbagai organisasi dan komunitas muslim tersebut menyambut ajakan untuk pengembangan Zakat di Australia. Beberapa di antara organisasi dan komunitas muslim tersebut malah langsung meminta dibuatkan program mobilisasi dana zakat dan pemanfaatannya melalui asistensi dari Baznas Dompet Dhuafa. Sebagian yang lain meminta tambahan informasi dan wawasan zakat yang selama ini banyak tidak mereka ketahui.

 

Australia, benua yang didiami oleh minoritas muslim itu, kini mulai menggeliat dengan sentuhan zakat. Irama kegairahannya dalam mengembangkan zakat perlahan akan semakin menggelegak. Jika itu terus dipacu, maka pada suatu waktu perkembangannya akan menjadi lompatan yang tinggi. Sebagaimana seekor kanguru yang melompati bebatuan tinggi, sehingga membuat terbelalak orang-orang yang melihatnya.

09 May, 2007

PENDIDIKAN DASAR HARUS GRATIS

Pendidikan adalah sebuah proses transformasi masyarakat dari kebodohan menuju cerdas pandai. Pendidikan juga adalah proses perubahan masyarakat dari ketidakmampuan menjadi keahlian. Sekaligus pendidikan adalah sarana mengubah kemalasan dan kejumudan menjadi kesadaran dan tindakan. Oleh karena itu, pendidikan menjadi fondasi sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat.

 

Karena strategisnya kedudukan pendidikan dalam perubahan masyarakat, maka pendidikan harus mendapatkan prioritas yang tinggi dalam pembangunan. Tidak heran apabila UNDP merekomendasikan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) dijadikan sebagai parameter utama dalam menilai keberhasilan pembangunan suatu negara. Perhatian kita terhadap pendidikan juga telah disepakati oleh seluruh pengambil keputusan negara melalui UUD 1945 (hasil amandemen) yang pada pasal 31 ayat 4 mencantumkan bahwa anggaran pendidikan kita harus sekurang-kurangnya mencapai 20 % dari keseluruhan total anggaran pembangunan kita.

 

Kedudukan UUD yang semestinya dijadikan sebagai acuan dasar berbangsa dan bernegara, justru oleh pemerintah masih belum ditaati. Pemerintah yang seharusnya menjadi penjaga, pelaksana dan pemberi contoh pelaku UUD, malah menjadi “pembangkang” UUD. Selama tiga tahun terakhir pembangunan, alokasi anggaran pendidikan kita dalam APBN masih belum mencapai 20 %. Pada APBN tahun 2007 ini alokasi anggaran pendidikan baru menyentuh angka 11,8 %. Pemerintah juga semakin mengulur waktu pemenuhan angka 20 % tersebut dengan menyatakan bahwa anggaran sebesar itu baru akan dicapai lima tahun lagi. Itu artinya selama masa pemerintahan SBY – JK berkuasa, amanat UUD tersebut tidak akan pernah dicapai. Kalau betul rencana ini akan dilakukan, maka hal ini sungguh memprihatikan.

 

Alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 % sudah sangat mendesak direalisasikan pada saat ini. Karena dengan alokasi sebesar 20 %, maka prioritas pertama yang harus segera dicapai adalah pemberian akses dan penyediaan kesempatan belajar untuk semua orang melalui pembebasan biaya pendidikan tingkat dasar yaitu sekurang-kurangnya pada jenjang SD sampai SLTA . Prioritas kedua adalah pada peningkatan kualitas belajar mengajar, seperti peningkatan kualitas guru, perbaikan rancangan proses belajar, dan penyediaan sarana dan fasilitas belajar. Sedangkan prioritas ketiga adalah pada dukungan pencapaian hasil belajar, peningkatan daya saing bangsa dan implementasi hasil belajar guna memperbaiki kualitas kesejahteraan.

 

Kita semua tentu mengetahui bahwa untuk meningkatkan kualitas pendidikan diperlukan biaya yang besar. Akan tetapi kalau semua pihak, khususnya pemerintah berkomitmen untuk mewujudkannya, maka biaya pendidikan dasar yang mahal bisa digratiskan. Dan kita juga harus buktikan bahwa sekolah yang gratis itu tetap bermutu. Bukan sekolah gratis yang seadanya atau asal-asalan.

 

Komitmen alokasi anggaran 20% tersebut harus tercermin pada APBN dan APBD selambatnya pada tahun 2008. Dengan anggaran 20% APBN saja, maka alokasi anggaran pendidikan pada APBN sekurang-kurangnya akan mencapai 120 Trilyun. Itu artinya rata-rata setiap propinsi akan mendapatkan alokasi anggaran pendidikan dari APBN lebih dari 3,6 Trilyun. Belum lagi dari sumber APBD. Jumlah tersebut cukup memadai untuk memulai pendidikan dasar berkualitas yang gratis.

 

Pemenuhan kesempatan belajar tingkat dasar yang gratis diharapkan akan mempercepat proses perbaikan kualitas bangsa secara menyeluruh. Dan dengan perbaikan kualitas bangsa, akhirnya kita berharap bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat akan segera dapat dicapai.

04 May, 2007

ETIKA MENOLONG


menolong adalah sebuah perbuatan yang mulia. Menolong adalah sebuah bentuk perilaku ketika seseorang terpanggil untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang sedang dibutuhkan orang lain. Menolong adalah kesediaan seseorang untuk mengorbankan waktu, tenaga, pikiran atau harta yang dimiliki untuk kebaikan orang lain.

Menolong mekipun termasuk perbutan yang baik, menjadi tidak sempurna atau berubah menjadi perbuatan buruk apabila dilakukan tanpa memenuhi etika. Ada beberapa etika yang perlu diperhatikan dan diimplementasikan ketika kita menolong, yaitu :

1. Dilandasi keikhalasan. Sebuah perbuatan menolong yang baik adalah yang dilandasi atau ditujukan karena Allah SWT. Yaitu ketika kita menolong bukan semata-mata karena kita kasihan melihat orang lain, akan tetapi karena Allah SWT memerintahkan kita untuk berusaha selalu menolong orang lain. Misalnya ketika kita melihat orang miskin yang berbaju kumal, badannya kurus, mukanya kotor, muncul rasa iba di hati kita. Karena kasihan melihat orang tersebut kita menolong orang miskin tersebut. Sebenarnya Landasan menolong yang paling hakiki dan bersifat ajeg adalah menolong karena Allah SWT. Sehingga meskipun perasaan kita tidak kasihan, tetapi karena Allah SWT meminta kita untuk banyak menolong, maka kita akan tetap menolong orang lain.

2. Menolong dengan sesuatu yang baik. Menolong dengan barang bekas adalah perbuatan baik. Akan tetapi menolong dengan barang yang bagus atau baru jauh lebih baik. Harus dihindari oleh kita menolong dengan sesuatu barang yang kitapun sudah tidak meyukainya atau membencinya. Jangan sampai terjadi ketika kita menolong atau membantu orang lain, kemudian barang yang kita gunakan untuk membantu orang tersebut, bukannya diterima malah ditolak atau dibuang, karena orang yang ditolong merasa tidak memerlukan atau tidak menyukainya. Yang terbaik adalah menolong orang lain dengan barang yang paling disukai oleh orang yang akan menerimanya.

3. Dilakukan dengan cara atau sikap yang baik. Bila ada pengemis meminta bantuan kepada kita, misalnya meminta uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tidak banyak yang dimintanya, misalkan Rp 10.000,- Kemudian kepada pengemis itu kita berikan uang Rp 100.000,- akan tetapi uang itu kita berikan dengan cara dibanting di hadapan pengemis tersebut, sambil kita (maaf !) ludahi. Meskipun jumlah uang tersebut sangat besar jumlahnya dibandingkan yang dimintanya, akan tetapi kalau cara kita memberikannya dengan cara seperti itu, maka bisa jadi pengemis itu tersinggung dan merasa terhina. Bahkan bisa jadi pengemis itu mengurungkan niatnya untuk menerima uang yang kita berikan dengan cara yang sangat merendahkan dan menghinakan tersebut.

4. Dalam keadaan darutat, jangan tanya suku, bangsa atau agamanya. Ketika kita melihat orang yang perlu ditolong dan keadaannya darurat, maka tidak perlu kita bertanya : sukunya apa ? bangsanya apa ? atau agamanya apa ? Dalam keadaan darurat yang paling penting adalah menyelamatkan korban dari keadaannya yang membahayakan. Apalagi kalau keadaan orang yang mau kita tolong tersebut, sudah terancam nyawanya, maka ketika kita hendak menolong tidak perlu kita bertanya suku, bangsa atau agama dari orang tersebut. Karena menyelamatkan nyawa manusia sangat bernilai derajatnya.

5. Jangan diingat-ingat dan jangan disebut-sebut. Kalau kita pernah menolong orang lain, jangan suka diingat-ingat perbuatan kita tersebut. Biarkan perbuatan menolong itu menjadi amal baik kita, jangan terlalu sering kita mengenangnya atau menyebutkannya. Apalagi di hadapan orang yang pernah kita tolong. Jangan sekali-kali kita mengungkit-ungkit perbuatan menolong kita, meskipun orang yang pernah kita tolong itu sedang mengecewakan atau menyakiti kita. Karena banyak di antara kita yang kemudian menyebut-nyebut perbuatan menolong kita, ketika orang yang kita tolong tersebut mengecewakan atau menyakiti kita.

04 April, 2007

KEPEDULIAN MBAH MARIJAN

Mbah Marijan, orang tua yang sangat disegani di kawasan Merapi Jogjakarta wajahnya kini sangat sering muncul di layar kaca. Maklum, sekarang beliau telah menjadi bintang iklan sebuah produk minuman energi. Dengan iklan tersebut, popularitas Mbah Marijan semakin meningkat pesat. Sepintas ada kesan bahwa lelaki yang pernah tetap tenang dan tidak mengungsi saat Merapi mulai “batuk-batuk” pertengahan tahun lalu itu, kini menjadi komersial. Dalam iklan tersebut, keperkasaan Mbah Marijan telah disejajarkan dengan Chris Jhon juara tinju dunia asal Indonesia.

Konon kabarnya, Pada awalnya Mbah Marijan menolak mentah-mentah untuk menjadi bintang iklan produk minuman energi tersebut. Selain karena hal itu akan merusak citra diri beliau, Mbah Marijan juga merasa tidak tergoda untuk menerima sejumah uang yang ditawarkan sebagai balas jasa. Menurut Mbah Marijan, beliau ingin tetap hidup sederhana dan merasa cukup dengan apa yang telah beliau miliki selama ini. Lelaki yang dianggap sakti oleh sebagian warga Merapi ini lebih memilih untuk memperhatikan warga sekitar dan lingkungan alam sekitarnya.

Setelah dibujuk dengan berbagai cara, hati Mbah Marijan akhirnya luluh juga untuk menerima tawaran menjadi bintang iklan tersebut. Kesediaan hatinya terbuka, ketika kepada Mbah Marijan diyakinkan bahwa uang yang bisa diperoleh dengan menjadi bintang iklan tersebut dapat digunakan untuk menolong tetangga-tetangganya yang kekurangan. Juga diyakinkan bahwa uang hasil menjadi bintang iklan bisa digunakan menolong warga di sekitar Merapi yang mengalami kesulitan. Maka, Jadilah Mbah Marijan sebagai bintang iklan.

Kesediaan Mbah Marijan menjadi bintang iklan karena ingin menolong sesama manusia adalah sebuah peristiwa langka. Pada saat kebanyakan manusia sekarang lebih mementingkan urusannya sendiri, Mbah Marijan mencontohkan bahwa uang dan popularitas yang diraih adalah sarana untuk membantu sesama. Kita semua mengetahui saat ini banyak para pemimpin dan wakil rakyat yang bertindak bukan memperjuangkan dan membela nasib rakyat yang diwakilinya, malah sebaliknya lebih sibuk memperjuangkan kepentingan dan kesenangannya sendiri.

Keteladanan Mbah Marijan mengajarkan kepada kita bahwa kita harus senantiasa berkorban dalam rangka menolong orang lain. Mbah Marijan mempraktekkan sebuah perilaku hidup yang berusaha mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingan dirinya. Mbah Marijan telah berhasil mewujudkan perilaku bahwa setiap tindakan kita harus senantiasa dilandasi oleh motivasi untuk memberikan manfaat kepada orang lain. Bahkan sesuatu yang sesungguhnya tidak ingin dilakukan, tapi demi menolong orang lain, akhirnya dikerjakan.

Mbah Marijan adalah sosok pemimpin yang sebenarnya bagi warga di sekitar Merapi. Karena dalam pandangan Mbah Marijan kesejahteraan masyarakat sekitar Merapi telah menjadi tanggung jawab yang juga harus dipikulnya. Kesulitan dan penderitaan masyarakat di sekitar Merapi adalah suara hati yang menggerakkan setiap tindakan dan perilakunya untuk membantu mereka. Mbah Marijan adalah sosok penuh kepedulian, khususnya kepada sesama manusia yang hidupnya penuh kekurangan. Semoga kita semua dapat meniru perilaku hidup seperti Mbah Marijan. Wallahu A’lam !

25 March, 2007

MENTERI ZAKAT

Kita patut bersyukur, karena selama satu dasa warsa terakhir, perkembangan zakat di Indonesia tumbuh begitu pesat. Sejak berdirinya Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat seluruh Indonesia (Forum Zakat) pada tahun 1997 sampai pada tahun ini banyak catatan menggembirakan terjadi dalam ranah zakat Indonesia. Pada tahun 1999 disahkan Undang Undang Pengelolaan Zakat, yaitu UU No. 38 Tahun 1999. Meskipun masih ditemukan adanya kelemahan dalam UU tersebut, tetapi keberadaannya telah meniupkan kegairahan pengelolaan zakat di Indonesia.

Kehadiran UU pengelolaan zakat, kemudian diikuti dengan munculnya perda zakat di berbagai daerah. Sampai saat ini telah tiga daerah propinsi dan 20 Kabupaten/Kota yang telah memiliki perda zakat. Kehadiran UU pengelolaan zakat juga telah menyuburkan berdirinya organisasi zakat formal yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) sebagai institusi pemerintah yang telah berdiri di 31 Propinsi dan lebih dari 300 Kabupaten/Kota serta 18 Lembaga Amil Zakat (LAZ) sebagai institusi bentukan masyarakat pada tingkat nasional yang telah dikukuhkan oleh Menteri Agama. Belum terhitung LAZ tingkat propinsi dan Kabupaten/Kota yang sudah dikukuhkan Gubernur dan Bupati atau Walikota.

Dinamika aktivitas organisasi pengelola zakat juga telah berdampak pada perubahan perilaku berzakat masyarakat Indonesia. Jika pada tahun 1997 masyarakat yang membayarkan zakatnya melalui institusi formal kurang dari 3 %, maka pada akhir tahun 2006 cakupannya sudah hampir mencapai 20 %. Hal ini juga ditunjukkan oleh akumulasi penghimpunan dana yang diperoleh organisasi zakat formal. Jika pada tahun 1997 akumulasi total yang dihimpun organisasi zakat formal hanya mencapai 150 Milyar, maka pada akhir tahun 2006 sudah mencapai 800 Milyar.

Akumulasi penghimpunan dana yang telah dihasilkan oleh organisasi zakat formal,masih sangat jauh dari potensi zakat yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia yaitu sebesar 19,3 Trilyun per tahun. Angka inipun masih dapat dieskalasi sampai mencapai 90 Trilyun, apabila zakat telah dikelola dengan sangat baik dan diikuti dengan donasi Infak/Sedekah atau Wakaf yang tergalang dengan optimal.

Tanda-tanda positif dari geliat zakat di Indonesia juga menunjukkan tentang mulai signifikannya urusan zakat dalam tata kelola negara kita. Berdirinya Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pada tahun 2001 melalui SK Presiden No. 8 tahun 2001 dan Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada awal tahun 2007 ini, semakin menguatkan posisi zakat dalam lingkar pengelolaan negara. Dengan semakin luasnya lingkup persoalan zakat dan semakin besarnya pengaruh zakat, maka sudah seharusnya apabila kini zakat lebih dalam lagi ditempatkan dalam tata kelola negara Indonesia.

Kebutuhan untuk perlunya segera dibentuk Kementerian Zakat dan Wakaf menjadi semakin mendesak. Tentu saja pada tahap awal kementerian ini hanya berupa kementerian negara yang tidak membawahi departemen. Kementerian ini akan memerankan fungsi regulator dan pengawas, sekaligus penentu kebijakan pengelolaan zakat di Indonesia. Orientasi dari kementerian ini adalah mengarahkan agar zakat dapat dimaksimalkan dalam membantu pengentasan kemiskinan, pencapaian organisasi zakat yang profesional dan akuntabel, serta integrasi dan sinergi seluruh organisasi zakat di bawah satu payung kebijakan nasional.

Pola penanganan zakat juga harus mulai diubah, jika sebelumnya hanya didekati dalam platform hukum-hukum agama, maka ke depan harus didekati juga dalam instrumen pengelolaan keuangan dan kebijakan ekonomi. Sebagai sebuah kewajiban masyarakat, maka zakat adalah instrumen fiskal, akan tetapi dalam lingkup pemanfaatan dan pendayagunaan, maka zakat adalah instrumen moneter dan instrumen sosial. Sehingga tidak salah jika penataan dan pengelolaan zakat juga dikaitkan dengan kebijakan makro ekonomi suatu negara.

Kalau sekarang ini tulang punggung pendapatan dalam negeri kita adalah pajak, maka pada suatu ketika zakat juga akan mampu mendanai pembangunan dalam proporsi yang semakin berimbang dengan pajak. Bukankah pada masa lalu di Indonesia jumlah pendapatan pajak juga sangat kecil ? Apalagi kalau kita menengok sejarah Islam pada masa Rasul saw dan Khulafaur Rasyidin, maka kita mendapati bahwa porsi zakat dalam mendanai pembangunan cukup besar. Semoga dengan kehadiran Menteri Zakat, harapan agar peran zakat sangat signifikan dalam membantu mengatasi kemiskinan segera terwujud.

02 March, 2007

RELAWAN JOGJA

Satu hari berselang sejak terjadinya gempa yang melanda Yogya dan Jateng, Agus (bukan nama sebenarnya) bergegas meluncur dari Jakarta ke Yogya untuk memenuhi panggilan tugas. Sudah beberapa tahun ini ia menjadi relawan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Sesampainya di Yogya ia bertindak cepat melayani para korban gempa, dengan membagikan makanan dan layanan kesehatan. Tidak lupa juga mendirikan tenda dan membagikan logistik lain yang sangat diperlukan para korban gempa.

Lepas dari penanganan tahap darurat, Agus bersama rekan-rekannya yang lain, mulai memikirkan program lanjutan. Muncullah gagasan untuk membangun rumah tahan gempa. Rancangan rumah tersebut didesain melibatkan arsitek dan ahli teknik sipil. Rumah tahan gempa tersebut disiapkan dengan ukuran 36 meter persegi di atas lahan milik warga sendiri. Seluruh biaya bahan diperkirakan menghabiskan dana 25 juta rupiah. Tenaga kerjanya menggunakan warga dan relawan yang terlibat. Setelah perencanaan selesai, pelaksanaan pembangunan rumah pun dimulai. Relawan dan warga membangun rumah dengan antusias. Penuh kerja keras mereka mendirikan rumah di kawasan reruntuhan gempa yang telah dibersihkan. Dari mulai pagi Sampai pukul sepuluh malam, pembangunan rumah dilakukan. Dari mulai fondasi bangunan sampai bagian atap terus dikerjakan. Seperti tidak kenal lelah, warga dan para relawan ingin segera menyelesaikan pembangunan rumah tersebut.

Setelah tiga minggu, pembangunan beberapa unit rumah telah selesai. Tibalah saat peresmian rumah tersebut. Wajah-wajah para pemilik rumah yang baru dibangun tersebut dihiasi kebahagiaan. Wajah sedih pada saat baru terjadi gempa, kini telah bertukar menjadi ulasan senyuman. Beberapa relawan, termasuk Agus juga dengan puas memandangi rumah yang telah dibangun tersebut. Tampak bahwa rumah tersebut, meskipun berukuran tidak besar, tetapi memancarkan kebersihan dan kebaruannya. Dua hari setelah peresmian rumah tersebut, Agus menyempatkan diri untuk kembali ke Jakarta. Niatnya ingin mengambil barang untuk keperluan program selanjutnya, sekalian evaluasi di kantor LSM-nya. Tidak terasa sudah hampir satu bulan ia meninggalkan Jakarta. Sesampainya di rumah dan beristirahat sejenak, istrinya bercerita : “Mas, tadi siang ada Pak Rifa’i pemilik rumah kontrakan kita, menanyakan tentang kelanjutan kontrak rumah kita. Karena katanya, satu minggu lagi kontrak rumah kita tahun ini sudah habis. Beliau bilang kalau mau diperpanjang, selambatnya lima hari lagi uang kontrakan harus dibayar.” Mendengar tuturan dari istrinya, Agus menjawab : “Ya Nanti, kita usahakan untuk dibayar.”Selesai berdialog dengan istrinya, Agus berpikir dan segera menyadari kembali ternyata ia adalah seorang “kontraktor” yang harus segera membayar uang kontrakan rumah. Seketika itu juga, melintaslah bayangan rumah-rumah di Yogya yang dibangunnya bersama relawan lainnya. Rumah-rumah itu telah menjadi milik warga yang menjadi korban gempa. Selanjutnya, Agus pun sadar bahwa uang yang dia miliki saat ini tidak cukup untuk membayar uang kontrakannya di Jakarta. Agus berpikir keras darimana ia harus menutupi kekurangan pembayaran kontrakan rumahnya. Sambil terus berpikir untuk mencari jalan keluar, selepas sholat ia berdo’a : “Ya Allah, berikanlah petunjuk kepada kami, mudahkan urusan kami dan datangkanlah rezeki dari-Mu sehingga kami dapat membayar kekurangan uang kontrakan kami. Amin…!”

BALADA PEMULUNG MALAM

 

Pada tayangan televisi beberapa hari yang lalu, kita disuguhi kesibukan ribuan orang yang mengikuti tes menjadi Pagawai Negeri Sipil (PNS). Sebegitu hebatnya makna menjadi PNS, sampai ada peserta yang mengikuti tes sambil membawa bayinya yang masih disusui ke tempat tes. Ibu tersebut bolak-balik keluar masuk ruangan tes untuk sesekali menyusui anaknya di luar.

Seorang Ibu lainnya melaksanakan tes di ruang bersalin. Ibu tersebut tidak ingin ketinggalan mengikuti tes, meski bayi di kandungan sudah mulai berkontraksi hendak membrojol. Bagi mereka, tes PNS itu teramat penting, sehingga bagaimanapun kondisinya, tes PNS harus ikut.

Melihat begitu bernilainya arti menjadi PNS bagi sebagian orang, saya menjadi teringat kepada kenyataan berikut :

Malam baru saja berdentang pukul satu. Sebagian besar insan sedang terlelap dalam peraduan. Seorang anak belasan tahun tampak sedang berkemas. Dengkur gulita Bandung justru saat bangkit bagi anak tersebut untuk memulai tugas. Dengan karung plastik lusuh yang terpanggul ia mulai menapaki kegelapan. Langkah kakinya terus diayun menembus dingin yang menusuk-nusuk kulit.

Setelah melambaikan tangan dan tersenyum kepada Satpam di gerbang Perumahan Sumber Sari, mulailah ia menyisir satu demi satu tempat sampah di perumahan itu. Bau yang menyengat hidung saat tutup tempat sampah dibuka, baginya sudah tidak terasa lagi. Dikorek-koreknya remah-remah rumah tangga. Dicarinya beberapa benda seperti kertas, plastik, botol, logam, kaca dan benda apa saja yang menurutnya masih bernilai.

Tidak sedikit perjalanannya terganggu, karena anjing menyalak atau mengejarnya. Atau tatapan penuh curiga dari orang yang kebetulan melintas. Sesekali ia pun harus bersaing dengan pemulung lain yang beroperasi di tempat yang sama. Alasan menghindari persaingan juga yang menjadi sebab ia memilih menjadi Pemulung Malam.

Saat fajar merekah, ketika kumandang azan Subuh mengalun, ia menyempatkan diri mengaso sejenak. Diambilnya air wudlu dan ditunaikannya sholat di masjid terdekat. Selesai sholat, ia melanjutkan lagi pekerjaannya. Sampai menjelang pukul 8 pagi, barulah ia menuntaskan perburuan sampahnya.

Sampai di rumah, ia tidak bisa langsung beristirahat. Karena ia masih harus memilah-milah sampah tersebut. Dikelompokkannya sampah tersebut berdasarkan jenisnya. Usai disortir tersebut, dengan harapan yang bergelora ia mengantarkan sampah tersebut kepada pengumpul yang menampung hasil pekerjaannya. Dengan sampah yang dipanggul sekarung tersebut, ia dibayar 15 sampai 20 ribu Rupiah. Cukuplah itu untuk menyambung hidupnya hari itu.

Asep, demikian nama anak tersebut, hanya sekolah sampai kelas 4 SD. Ibunya sudah lama meninggal dunia. Sementara Bapaknya kawin lagi. Ia bersama enam saudaranya harus berjuang mati-matian menjaga kehidupan. Apapun cara akan dilakukan untuk memelihara nafas terus mengaliri rongga dada. Sudah beberapa tahun ini ia menjadi pemulung.

Meski dari memulungnya sehari hanya mendapatkan 15 ribu perak, yang bagi sebagian orang hanya cukup untuk segelas kopi, Asep selalu mensyukuri. Baginya yang penting adalah bisa menikmati. Asep memang pernah bermimpi untuk hidup lebih baik. Tapi dengan keterbatasan dan bekal pendidikan yang tidak tamat SD, ia tidak bisa berharap banyak.

Dalam renungnya, Asep menyadari ia tidak mungkin untuk ikut antri seperti orang lain yang berdesakan menjelang pendaftaran menjadi calon pegawai negeri. Status PNS yang bagi sebagian orang bagaikan permata di tengah penggaguran yang meruyak, bagi Asep hanyalah impian kosong. Baginya jauh lebih penting berbuat sehingga tidak menjadi beban orang lain, daripada terus menunggu lamaran bekerja diterima. Meskipun, pada awal memulai profesi pemulung, dadanya bergemuruh hebat, karena harus menghancurkan semua gengsi dan keriangan masa remajanya.

Kadang menjelang tidur, Asep masih sempat merapalkan do’a : “Ya Tuhan ampunilah dosa kedua orang tuaku, kasihilah mereka sebagaimana mereka mengasihiku di waktu kecil.” Doa’ inilah yang selalu menjadi mantera penebus manakala kerinduannya kepada orang tua datang menyergap.

Fakta tentang Asep, dan kehebohan sebagian besar orang untuk menjadi PNS, menunjukkan bahwa masih menggunungnya angka pengangguran di Indonesia. Tugas kita semua, khususnya pemerintah untuk selalu berkreasi menciptakan lapangan kerja dan membantu mereka yang tidak mampu menjadi berdaya.

Para penganggur juga mesti belajar kepada Asep, bahwa hidup tidak hanya sekedar menunggu kenikmatan. Tapi yang terpenting adalah mau bekerja keras untuk hidup dengan kemampuan sendiri.

Older Posts

 

 

 

Apakah Amil zakat Sekarang telah mendapatkan gaji yang memadai

 

Social Inteligence in The Power of LIfe

Simak Dialog tentang Kecerdasan Sosial dalam rangkaian acara The Power of Life di Radio Trijaya FM Jakarta pada 104,6 Mhz setiap Hari Sabtu dan Minggu Pukul 05.00 – 05.30 pagi dengan narasumber : Ahmad Juwaini. Saat ini memasuki episode yang ke-43

September 5, 2007

Mengamandemen UU Zakat

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 9:57 am

Oleh :Irfan Syauqi Beik
Dosen IE-FEM IPB, Kandidat Doktor Ekonomi Syariah IIU Malaysia

Baru-baru ini sejumlah Lembaga Amil Zakat Nasional dan Badan Amil Zakat Nasional meminta DPR, melalui Komisi VIII, untuk mengamandemen UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Ketua Umum Baznas, KH Didin Hafidhuddin, menilai bahwa fungsi regulator, pengawas, dan pelaksana pengelolaan zakat di Indonesia sebaiknya dipisahkan (Republika, 10 Agustus 2007). Bila tidak segera dipisahkan, maka dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai penyimpangan mengingat ketidakjelasan posisi kelembagaan yang ada. Siapa mengatur siapa, apa yang diawasi dan bagaimana kriteria atau indikator pengawasan menjadi isu yang sangat penting, yang menentukan arah masa depan perzakatan di Tanah Air. Sesungguhnya, isu amandemen UU zakat ini merupakan isu yang sudah lama disuarakan oleh para praktisi zakat. Hal tersebut disebabkan oleh adanya sejumlah kelemahan dalam undang-undang tersebut, yang berpotensi menjadi barrier terhadap pelaksanaan pembangunan zakat di Tanah Air. Artikel ini mencoba membahas dua aspek penting yang perlu mendapat perhatian dalam pembahasan amandemen UU Zakat tersebut. Pertama, fungsi dan peran kelembagaan zakat yang ada, dan yang kedua adalah penerapan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak.

Kelembagaan
Sesuai Pasal 6 dan Pasal 7 UU No 38/1999, lembaga pengelola zakat terdiri atas dua jenis, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ), yang didirikan pemerintah, dan Lembaga Amil Zakat (LAZ), yang didirikan secara swadaya oleh masyarakat. Namun demikian, undang-undang tersebut tidak mengatur secara jelas mengenai hubungan antarkeduanya. Yang dijelaskan hanyalah hubungan antar-BAZ di semua tingkatan, yang bersifat koordinatif, konsultatif dan informatif (Pasal 6 ayat 3). Sementara tugas pokok lembaga zakat adalah mengumpulkan, mendistribusikan, dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama (Pasal 8).

Kelemahan dari pola ini adalah tidak adanya lembaga yang menjadi regulator dan pengawas, karena undang-undang tersebut tidak memberikan kewenangan yang dimaksud kepada lembaga tertentu. Fungsi serta tugas BAZ dan LAZ, mulai dari tingkat nasional hingga kota/kabupaten adalah sama. Tentu saja hal tersebut akan memberikan kesan adanya ‘persaingan’ antarlembaga. Bahkan di beberapa daerah, sempat muncul keluhan bahwa lembaga zakat tertentu ‘mengambil’ pangsa pasar muzakki yang seharusnya menjadi ‘milik’ lembaga lain.

Jika Baznas bermaksud untuk meminta laporan tahunan LAZ dan BAZ yang ada, maka bisa jadi tidak akan efektif karena fungsi mereka adalah sama-sama sebagai pemain. Yang ideal adalah kewenangan untuk membuat regulasi dan melakukan pengawasan hendaknya diberikan kepada Badan Amil Zakat Nasional, dan hal tersebut harus secara eksplisit dinyatakan dalam undang-undang. Baznas harus difungsikan sebagai regulator yang memiliki otoritas tertinggi, yang berhak untuk mengeluarkan berbagai kebijakan perzakatan sekaligus melakukan pengawasan. Selama ini, fungsi pengawasan terhadap lembaga zakat hanya dilakukan oleh dua unsur, yaitu oleh unsur internal melalui komisi pengawas (Pasal 18 ayat 1), dan unsur masyarakat (Pasal 20). Tentu saja hal tersebut kurang memadai dan memiliki kekuatan hukum yang kurang kuat.

Jika Baznas menjadi otoritas zakat tertinggi, maka konsekuensinya, ia tidak perlu mengambil peran pengumpulan zakat. Biarkan masalah pengumpulan menjadi tugas LAZ-LAZ yang ada, baik di tingkat nasional maupun daerah. Yang terpenting, setiap lembaga zakat wajib memberikan laporan secara berkala kepada Baznas, sesuai dengan kriteria dan indikator tertentu, sehingga realisasi penghimpunan dan pendayagunaan zakat secara kolektif pada tingkat nasional, dapat diketahui secara transparan oleh publik.

Konsekuensi lainnya, pemerintah harus secara serius memenuhi seluruh anggaran operasional Baznas, yang selama ini ‘mengandalkan’ hak 12,5 persen dari zakat yang terkumpul. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 23. Dalam APBN perlu dimasukkan pos anggaran Baznas secara tersendiri, dan terpisah dari pos anggaran Depag. Selanjutnya, jika ternyata masyarakat lebih memilih untuk menyalurkan langsung zakatnya kepada Baznas, maka dalam hal pendistribusiannya, Baznas sebaiknya bekerja sama dengan LAZ yang ada.

Khusus mengenai posisi Bazda, maka sebaiknya berada di bawah koordinasi dan komando Baznas. Baznas perlu diberikan kewenangan instruktif dalam hal pengkoordinasian dan penyelarasan kinerja Bazda-Bazda yang ada. Fungsi Bazda juga sebaiknya adalah sebagai regulator dan pengawas di daerah, yang merupakan perpanjangan tangan Baznas. Namun demikian, jika di suatu daerah baru terdapat Bazda, dan belum ada Lazda yang beroperasi atau jumlah Lazda yang ada dianggap kurang memadai, maka Bazda pun dapat diberikan hak untuk melakukan pengumpulan dan pendistribusian dana zakat.

Mengenai ancaman hukuman terhadap BAZ/LAZ yang tidak amanah (Pasal 21), menurut penulis perlu diperberat. Ancaman kurungan maksimal tiga bulan dan atau denda maksimal Rp 30 juta masih terlalu ringan. Paling tidak, hukumannya adalah ancaman kurungan sekurang-kurangnya enam bulan dan atau denda sekurang-kurangnya Rp 100 juta. Hal tersebut supaya memberikan kesan bahwa menjadi amil zakat haruslah amanah, dan segala bentuk penyimpangan harus mendapat balasan yang lebih keras.

Zakat pengurang pajak
Selanjutnya adalah penerapan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak. Penerapan kebijakan tersebut di lapangan, diyakini akan mendorong percepatan pembangunan zakat di Indonesia. Masyarakat yang menjadi wajib zakat akan memiliki motivasi yang kuat mengingat zakat yang dibayarnya dapat menjadi pengurang pajak. Dengan semakin besarnya dana zakat yang dikumpulkan, maka upaya pengentasan kemiskinan di Tanah Air diyakini akan berjalan semakin cepat.

Penulis menyadari bahwa kebijakan tersebut seolah-olah terlihat bertentangan jika diterapkan. Di satu sisi, jumlah zakat yang terhimpun akan meningkat, sementara di sisi lain jumlah pajak yang terhimpun akan berkurang. Padahal, sekitar 78 persen sumber dana APBN kita bersumber dari pajak. Jika jumlah pajak berkurang, maka hal tersebut akan memberikan efek negatif terhadap kondisi perekonomian.

Namun demikian, fakta empiris berbicara lain. Malaysia, sebagai negara yang telah menerapkan kebijakan zakat sebagai pengurang pajak, menjadi bukti yang tidak terbantahkan. Dalam laporan Kementerian Keuangan Malaysia 2006 dan Laporan Pusat Pungutan Zakat Malaysia 2006, terbukti bahwa pendapatan pajak dan zakat memiliki korelasi yang positif. Sebagai contoh, pada tahun 2001 pendapatan zakat adalah sebesar 321 juta ringgit dan pendapatan pajak berkisar pada angka 79,57 miliar ringgit. Tahun berikutnya, pendapatan zakat naik menjadi 374 juta ringgit. Demikian pula dengan pendapatan pajak yang naik menjadi 83,52 miliar ringgit. Pada tahun 2005, pendapatan zakat telah mencapai angka 573 juta ringgit, sedangkan pajak 106,3 miliar ringgit.

Ikhtisar

– Ide untuk mengamandemen UU Zakat bergulir karena selama ini fungsi regulator masih menyatu dengan lembaga pelaksana zakat.
– Idealnya, regulator berfungsi terpisah dari pelaksana, agar pengawasan dunia perzakatan di Indonesia lebih optimal.
– Amandemen juga dimaksudkan supaya para pengumpul zakat yang tidak amanah diberi hukuman yang lebih berat.
– Hal lain yang perlu ditekankan dalam amandemen itu adalah diberlakukannya zakat sebagai pengurang pajak.

Agustus 22, 2007

Menimbang SDM LAZ

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 4:29 am
Tags: ,

copy-of-s3700063.jpg

mustaine

Bank Dunia (IDB) mengeluarkan pernyataan bahwa 49 % dari seluruh penduduk Indonesia hidup dalam kondisi miskin atau berpotensi menjadi miskin. (Media Indonesia. Kamis, 07/12/2006). Kalau dihitung perkepala, artinya ada, 108,78 juta penduduk indonesia hidupnya susah dari kurang lebih 220 juta., 108,78 Juta miskin, itu artinya apa? Memang sudah tidak bisa dipungkiri lagi bahwa, kemiskinan merupakan masalah sosial terbesar yang diahadapi bangsa indonesia mengawali tahun 2007.

Semakin seringnya pemerintah merancang program pengentasan kemiskinan, semakin bertambah angka kemiskinan itu sendiri. artrinya emplementasi dari hasil program sangat jauh dari yang diharapkan. Pemerintah menggembar-gemborkan akan menfasilitasi dan mengembangkan bisnis di sektor riil (menengah kebawah) namun nyatanya malah ada dana macet sekitar 200 triliyun yang terdaftar di Setifikat Bank Indonesia. Itu artinya apa? terdapat dana mandek dengan jumlah 200 triliyun. Siapa yang tanggung jawab. ternyata dunia perbankkan lebih senang meng-genggam– uangnya dari pada mendistribusikan untuk pengembangan bisnis mikro. Siapa yang bikin kebijakan?.

Terus sekarang sebenarnya bagaimana solusi riil untuk mengatasi kemiskinan itu sendiri, dan kenapa dengan gencar-gencarnya organisasi sosial terutama organisasi pengelola zakat menghapus kemiskinan, bukannya angka kemiskinan semakin turun kok malah justru bertambah. Padahal indeks penggalangan dana ziswaq dari waktu kewaktu terus menanjak. Masalahnya ini dimana?

Hal mana yang menjadi penting bagi OPZ untuk ikut berkontribusi dalam menghadapi “the predator “ adalah bagaimaa menciptakan konsep untuk meningkatkan kapasitas perzakatan kedepan, bagaimana kesiapan OPZ dalam menghadapi “era zakat” 2007, bagaimana menciptakan manajemen yang lebih efektif. Untuk mengurangi ledakan ketidaksejahteraan hidup yang merata. Tentu saja akan butuh banyak Sumber Daya Manusia yang kompeten terkait dengan berbagai kebutuhan operasional dan managerial pengentasan kemiskinan.

Dalam dunia kerja profesi sebagai Amil memang hal baru, banyak yang ingin mencobanya, tanpa totalitas mereka hanya maju-mundur, pada akhirnya harus memilih apakah meneruskan profesi barunya atau keluar dengan mencari pekerjaan lain.

Sulitnya mencari orang yang memiliki kapasitas memadai di bidang ZIS terkait dengan operasi dan manajerialnya, serta penguasaan ilmu-ilmu agama terutama masalah maaliah zakat, menjadi masalah yang berbeda yang menyebabkan profesi menjadi Amil jadi unik, maka tidak mengherankan jika saat ini hanya sedikit orang yang bisa ikut bergabung dalam bidang ini. Bila profesi ini tidak dikemas dengan daya tarik yang adekwat dan tingkat kualifikasi untuk angkatan kerja yang potensial dan menarik, maka OPZ hanya akan mendapatkan SDM sisa dengan konsekuensi tidak memiliki kompetensi yang memadai seperti yang diinginkan.

Sampai saat ini, belum ada kreteria yang dapat dijadikan instrument untuk memastikan sebuah lembaga zakat dapat dikatakan profesional atau amatiran. Jika profesionalitas mengacu pada sikap serta derajat pengetahuaan dan keahlian untuk melakukan pekerjaan yang digeluti, maka saat ini perbandingannya adalah 10 banding 1 karena hampir semua OPZ masih dalam tataran peningkatan SDM, dan hanya sedikit dari mereka yang all ready . Dengan berbagai pelatihan dan peningkatan skill yang masih harus dilakukan,tentu saja mengindikasikan adanya kualifikasi dan skill lain yang belum terpenuhi “sampil jalan, sambil belajar, sambil melengkapi“.

UPAYA OPTIMASI SDM

Kebutuhan yang paling mendasar dalam rangka mengisi “era zakat” 2007 adalah mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten di bidang ZIS. Kompetensi amil zakat ditunjukkan dari kemampuan, keahlian dan penguasaannya terhadap bidang kerja yang digeluti. Kesiapan SDM OPZ yang profesional dalam menyongsong era zakat 2007 merupakan kebutuhan yang tidak bisa ditawar lagi.

Berbagai upaya yang harus dilakukukan untuk meningkatkan kualitas SDM adalah mengadakan pelatian yang berorientasi pada peningkatan pengetahuan (knowledge),

peningkatan skill dan peningkatan komitmen. Ketiga hal ini secara sistematis dan berkala harus dilakukan terhadap semua SDM di OPZ. Kesadaran penanganan yang serius terhadap SDM akan menghantarkan organisasi mencapai tujuannya, apabila tidak ada penanganan dimungkinkan akan terjadi kemandegan SDM yang mengakibatkan produktivitas menurun sehingga lembaga akan jalan di tempat.

Untuk Pengembangan SDM harus mengunakan strategi yang menyeluruh paling tidak terhadap tiga hal yaitu perencanaan (Planning), penyediaan atau produksi (production) dan pengelolaan (management) Jika ketiga faktor diatas dapat dikuasai oleh SDM OPZ maka dapat dikatakan bahwa sebuah lembaga memiliki kapabilitas sumber daya manusia yang memadai. Artinya program pengembangan SDM sudah dilakukan secara menyeluruh.

Program-program optimalisasi SDM sebagai mana yang penulis sebutkan diatas, pada tataran yang lebih aplikatif bisa dilakukan dengan berbagai pelatian yang mengusung isu kunci diantaranya mengenai; Pengenalan dan penguasaan Manajemen, Penguasaan terhadap Fiqh Zakat, Penguasaan terhadap Konsep Marketing dan Fundraising, komunikasi yang efektif, Penguasaan terhadap Administrasi perkantoran, Penguasaan terhadap manajemen keuangan, Penguasaan terhadap Program.

Ketuju aspek tersebut dimungkinkan akan membantu meningkatkan pengetahuan SDM OPZ, sedangkan untuk peningkatan Skill dapat diaplikasikan dalam program dengan mengungkap skill mengenai; skill sebagai amil zakat, Skill IT, Skill Accounting, Skill sebagai Fundraiser,


Sedangkan untuk meningkatkan komitmen SDM terhadap lembaga baik juga diadakan pelatian pada Kajian ke-Islaman secara berkala, Pembangunan tim-work yang solid, Mengadakan rekreasi secara berkala, Memberikan reward dan punishment secara proporsional, Meningkatan basic-need dan kesejahteraan secara proporsional

Selain melakukan peningkatan pengetahuan, skill dan komitmen sumber daya manusia, hal yang tidak kalah penting adalah penataan SDM itu sendiri. Penataan dan penempatan SDM dapat mengacu dari latar belakang pendidikan , kemampuan, dan pengalaman mereka, bukan asal uji coba taruh dan apabila lain waktu tidak cocok dibuang, butuh kearifan dalam penataan SDM yang sangat komplek ini.

Pengembangan SDM merupakan kebutuhan yang mendasar bagi lembaga sehingga harus menjadi prioritas dalam program-programnya karena hal ini merupakan salah satu kunci sukses utama dalam pencapaian visi, misi dan tujuan lembaga. upaya untuk meningkatkatkan kemampuan profesional, harus terus dilakukan. Profesionalisme seperti inilah yang seharusnya tetap dijaga untuk meneguhkan lembaga.

Pentingnya Blue Print Zakat Nasional

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 4:21 am
Tags: ,

s3700059.jpg

mustaine

Dalam rangka mewujudkan keadilan sosial, keberadaan Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) adalah sangat penting. Bukan hanya karena OPZ independent, bebas kapital, market share yang melimpah, OPZ-lah, yang hanya dapat mengisi public space media interaksi yang mampu mengkomunikasikan kebutuhan antara yang kaya dan yang miskin. Sehingga dalam taraf yang berbeda sikaya dan simiskin tetap mendapatkan hak dan kewajibannya. ZiS adalah istrument utama yang digunakan OPZ untuk mewujudkan keadilan sosial.

Dalam konteks sejarah, pelaksanaan syariat ZiS banyak mengalami penyesuaian, dari model penunaiannya sampai harta yang dizakati. Apalagi dalam dekade terakhir, banyaknya variasi in-put dan out-put ZiS, mengharuskan strategi baru dalam sistem pengelolaan. Untuk pengembangan ke depan, agar pengelolaan ZiS di indonesia berkembang dengan operasi dan target yang jelas. diperlukan kontruksi zakat yang di dalamnya mencakup inisiatif-inisiatif yang memuat kepentingan OPZ.

Diberlakukannnya UU Zakat No. 38 Tahun 1999 dan Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/291 Tahun 2000, tentang pedoman teknis pengelolaan zakat, serta diikuti dengan terbitnya Keputusan Mentri Agama (KMA) No. 373 Tahun 2003 tentang pelaksanaan UU Zakat No. 38, ternyata belum memberikan arahan yang jelas mengenai pengembangan perzakatan di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan tidak lengkapnya mekanisme dalam sistem perzakatan nasional, baik dari pengelolaan, pengawasan dan perundang-undangan. Tiga unsur pokok inilah, yakni pengelolaan, pengawasan dan perundang-undangan, yang secara spesifik belum eksplisit termuat dalam UU No. 38 Tahun 1999.

Menurut penulis minimal terdapat tiga ketidaksesuaian dari implementasi UU Nomor 38 Tahun 1999, ; Pertama, adanya ketimpangan lembaga yang ditunjuk sebagai regulator dan pengawas. Sampai saat ini lembaga yang diamanahkan, tidak ada satu-pun yang concern mengawasi secara simultan kinerja OPZ, apalagi berinisiasi menghadirkan UU zakat yang lebih akomodatif. Kedua, UU Zakat tidak memperjelas segmentasi wilayah garapan OPZ dengan proporsi yang sebanding antara Lembaga Amil Zakat dan Badan Amil Zakat. Ketiga, UU tersebut tidak memberikan arahan dalam peningkatan pengelolaan seperti halnya, tidak adanya indikator dalam pencapaian program, langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk mencapai optimalisasi zakat, serta periodesasi atas pencapaian pengembangan perzakatan secara nasional. Ketiga hal tersebut, cukup mengindikasikan tidak lengkap UU No.38 tahun 1999 dalam mengakomodir kebutuhan OPZ.


Potensi dan Kondisi Zakat Indonesia

Dari berbagai versi, potensi zakat nasional yang paling akurat menurut penulis adalah versi Eri Sudewo (Ketua I BAZNAS). Dengan agak fleksibel, Eri memberikan estimasi dari potensi terburuk sampai dengan potensi ideal yang mungkin diperoleh, yakni berkisar antara 1,08 – 32,4 triliun pertahun. Potensi tersebut mengacu pada asumsi bahwa, terdapat 80 Juta penduduk muslim di Indonesia yang wajib zakat, dengan besaran zakat yang dikeluarkan perbulan mulai 50-150 ribu, sedangkan prosentase penunaian zakat berkisar antara 10-100 % dari 80 juta muzaki. (Republika, 17/10).

Kalau boleh menghitung secara serampangan, potensi zakat tersebut, kurang lebih sama, dengan alokasi dana yang dianggarkan APBN untuk program pengentasan kemiskinan 2007, setelah dikurangi biaya administrasi 15 %. Jika potensi zakat berhasil terdongkrak, setengahnya saja, maka terkumpul 16,2 triliun. Dana umat ini, pasti akan banyak membantu dalam program pengentasan kemiskinan di Indonesia, yang saat ini sudah mencapai tingkat terparah dalam sejarah NKRI, yakni, 108.78 juta jiwa atau 49 % dari penduduk indonesia (Media Indonesia, 07/12). Setengah kurang satu persen penduduk Indonesia miskin, atau kurang lebih berpotensi menjadi miskin. Ini artinya apa ?

Untuk menimbang bagaimana potensi tersebut tergali dan sejauhmana efektifitas pengelolaan zakat dilakukan, marilah kita lihat seberapa mampukah kita menggapai target tertinggi dengan mengukur instrumen zakat yang tersedia. Sekarang di Indonesia terdapat kurang lebih 147 Lembaga Amil Zakat, dan 95 Badan Amil Zakat (Data FOZ,12/2006). Jadi total keseluruhan berjumlah 242 OPZ yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara.

Di sisi lain, UU Zakat kondisinya seperti penulis uraikan di atas. Kode etik pengelolaan zakat sudah dibuat hanya saja belum digulirkan. Amandemen UU No. 38 Tahun 1999 masih dalam proses. Pedoman akuntansi untuk standarisasi Laporan Keuangan OPZ sudah disosialisasikan pada pertengahan 2005. Cetak biru kontruksi perzakatan nasional masih digodok oleh Tim yang dibentuk Forum Zakat. Dengan demikian pada dasarnya sampai saat ini kita telah memiliki instrument yang cukup untuk menggali potensi zakat hanya saja masih perlu kerja ekstra untuk mengasahnya.


Jika dilakukan perbandingan dari total lembaga yang ada, dengan penyebaran secara geografis, maka dalam satu wilayah minimal terdapat 7 OPZ dari 33 Propinsi di Indonesia. Ini artinya minimal ada tujuh organisasi pengelola zakat yang beroperasi dengan market share yang sama antara BAZ dan LAZ. Kondisi demikian apabila tidak diarahkan pada keteraturan, maka yang terjadi adalah “gesekan-gesekan” baik di tingkat operasional maupun manajerial. Hal tersebut tercermin ketika melaksanakan program kerja. Tidak adanya interkoneksi atara OPZ dalam penggalangan maupun penyaluran memastikan adanya hambatan dalam pengembangan kualitas perzakatan nasional.

Di tingkat manajerial, belum tersedia struktur kepengurusan dan standar jabatan yang ideal untuk OPZ itu seperti apa. Serta hak amil dan gaji untuk tingkat jabatan tertentu juga belum ada kejelasan. Di sisi lain terdapat terobosan baru yang kami anggap terlalu dini, seperti merger Dompet Dhuafa dengan BAZNAS, BAZNAS-DD dengan DPU-DT, BAZNAS dengan LAGZIS. Hal ini menimbulkan masalah baru yang berbeda dalam sistem pengelolaan ZiS, yang tentu saja belum tertampung dalam UU Nomor 38 Tahun 1999. Dengan demikian masih banyak hal yang harus dibenahi untuk menciptakan pengaturan dan keselarasan dalam konstelasi perzakatan di Indonesia.

Cetak Biru Zakat Indonesia

Hal mana yang diharapkan dengan hadirnya cetak biru zakat indonesia adalah membuat konstruksi perzakatan sebagai bingkai dan acuan pengaturan dalam pelaksanaan pengelolaan zakat di Indonesia. Siapa yang operasional, siapa yang menjadi pengawas dan siapa yang mengupayakan perundang-undangan zakat sehingga sistem pengelolaan zakat terstruktur, operasi serta sasaran pencapaiannya menjadi terarah dan jelas.

Dengan adanya cetak biru zakat Indonesia, semua masalah dalam perzakatan nasional, dimungkinkan akan banyak teratasi, karena cetak biru adalah kontruksi pengembangan kualitas perzakatan nasional yang menjadi dasar acuan peningkatan optimalisasi ZiS di Indonesia sehingga dimungkinkan segala rencana program dan operasional OPZ dapat terstandarisasikan. Dalam cetak biru akan mencakup Visi dan Misi pengembangan zakat nasional, UU Zakat yang direkomendasikan, pedoman tehnis OPZ yang lebih definitif, sasaran dan capaian program secara periodesasi serta ketentuan-ketentuan lain yang mengarahkan pada ultimate goal pengelolaan zakat.

Adalah Forum Zakat sebagai Asosiasi Organisasi Pengelola Zakat Indonesia yang mengupayakan lahirnya cetak biru zakat Indonesia, dengan menggandeng BAZNAS selama kurang lebih 1 tahun menggodok konsep cetak biru zakat. Konsep awal yang sudah jelas arahnya adalah bahwa yang akan menjadi regulator dan pengawas adalah lembaga independen yang dibentuk oleh pemerintah. dan yang menjadi operator adalah BAZ-BAZ kabupaten/kota sebagai representasi dari pemeritah serta LAZ tingkat nasional maupun daerah sebagai representasi pengelolaan zakat oleh masyarakat. Kita semua berharap semoga cetak biru sesegera mungkin bisa terbit dan dapat dijadikan pegangan dalam program pengelolaan zis di Indonesia.

Dari awalnya, Islam sudah memberikan arahan yang benar mengenai strategi dalam mengatasi kemiskinan. Dengan disyariatkannya zakat, secara tidak langsung sudah menjawab masalah tersebut. Sekarang tingkat kemiskinan sudah mencapai puncaknya. Lembaga pengelola dituntut lebih bijak dan cerdas dalam menghadapi tantangan ini. Untuk mencapai ultimate goal perlu adanya standardisasi dalam berbagai aspek terkait dengan sistem pengelolaan zakat. Upaya efektif demi keteraturan kinerja OPZ dalam rangka optimalisasi pengembangan ZiS nasional adalah dengan menyusun cetak biru zakat indonesia. Untuk mewujudkannya dibutuhkan komitmen yang kuat serta dukungan dari berbagai pihak terutama Organisasi Pengelola Zakat.

Penjelasan

in put = kesadaran umat untuk menunaikan zakat

out put = optimalisasi peran zakat;

out come = terwujudnya keadilan sosial.

ultimate goal = hasil paripurna (berjalannya sistem)

« Laman SebelumnyaLaman Berikutnya »

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.