InfOz pLu$

Mei 29, 2008

RUU Zakat Kebijakan Filantropi

Filed under: ARTIKEL — beritazakat @ 2:31 am

Oleh :Erie Sudewo (Social Entrepreneur)Road discussion buku saya berjudul Politik ZISWAF yang digelar CID (Center Information and Development) di Jakarta, Padang, Pontianak, dan Bali mendulang dukungan kuat. Buku tersebut sarat dengan gagasan 10 tahun ke depan, justru saat zakat masih dikelola secara tradisional dan masyarakat masih dalam keawamannya.

Buku ini mengajari semua pihak, baik negara, lembaga zakat, masyarakat, dan donatur untuk menempatkan zakat sebagaimana seharusnya,” ujar Abdulllah Jawas, dosen FE Universitas Udayana. Namun, pro dan kontra terlecut saat RUU Zakat (alternatif pengganti UU 38 Tahun 1999) turut dibahas.

Persamaan buku Politik ZISWAF dan RUU Zakat, keduanya menawarkan penataan zakat. Bedanya terletak pada titik tolak yang implikasinya jadi meluas.

Pertama, sudut pandang yang berbeda akan memengaruhi kebijakan dan kinerja. Maka yang kedua, tujuan akhir pasti total berbeda. Inti buku Politik ZISWAF mencoba menjelaskan posisi dan peran masing-masing pihak. Inti RUU Zakat hendak menyatukan pengelolaan zakat dalam kebijakan Depag.

Apakah pengelolaan zakat memang harus di Depag?” tanya seorang peserta. “Pemerintah itu yang mana?” tanggap yang lain. “Kita tak boleh gegabah untuk tiba-tiba serahkan zakat pada bukan Depag,” seorang peserta mencoba menengahi.

Adu argumen pun menghangat. “Apakah Muslim yang shaleh-shaleh itu cuma ada di Depag?” Sergahan menghentak itu menghenyak suasana jadi hening.

Pranata keagamaan
Dalam RUU Zakat pasal pertimbangan ayat c dikatakan zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memerhatikan masyarakat yang kurang mampu. Ada dua soal berkait dengan pasal pertimbangan ini.

Pertama istilah pranata keagamaan. Istilah ini menimbulkan multitafsir. Di satu sisi perintah zakat yang berdimensi kemasyarakatan hendak diritualkan, seperti haji. Setuju atau tidak, bukan itu intinya. Soalnya diarahkan pada wewenang pengelolaan. Dengan istilah pranata keagamaan, bicara zakat jadi sah dan mutlak dikelola Depag, seperti haji. Ini pesan tersirat, tapi tegas maknanya.

Soal kedua berkait dengan memerhatikan masyarakat yang kurang mampu. Inilah jiwa filantropi, napasnya cuma memerhatikan. Konteks memerhatikan hanya sekadarnya.

Kemiskinan jadi soal kedua. Yang pertama adalah kebaikan dan suasana hati. Taste jadi pemandu selera. Padahal, dalam mengatasi kemiskinan, suasana hati mesti ditanggalkan.

Kemiskinan harus diatasi, wajib ditanggulangi sungguh-sungguh. Bukan tergantung pada suasana hati.

Strategi filantrofi
Napas RUU Zakat, masih kental denyut filantropinya. Ada beberapa ciri filantropi yang mesti disimak. Pertama, filantropi tak bisa memaksa sebab donasi selalu kembali pada keikhlasan donatur.

Zakat itu wajib, ikhlas atau tidak. Kedua landasan filantropi tergantung pada kenyamanan suasana hati.

Si miskin bertingkah, hati pun bergolak. Sebaik apa pun program, pasti tersisih karena berbeda taste. Ketiga suasana hati jadi pencerai-berai kekuatan zakat. Maka, keempat bukankah gegabah mengelola dana triliunan hanya dengan kebijakan filantropi. Karena inilah ciri kelima, filantropi terpasung pada kegiatannya bukan kebijakan.

Yang terjadi hingga hari ini, zakat dikemas dalam kiprah filantropi. Bertahun-tahun kemiskinan diatasi dengan konsep kedermawanan, hasilnya fakir miskin memassal dan makin akut. Tampaknya RUU Zakat justru kuat mengusung konsep kedermawanan.

Niatnya hendak menata zakat, tapi praktiknya filantropi. Dengan filantropi, terbukti kemiskinan tidak berubah. Jika dulu bagi-bagi sembako untuk seribu mustahik, dengan RUU Zakat disatukan jadi sejuta sembako. Skala bantuannya berubah, kemiskinannya tak berubah.

Strategi fiskal
Menurut Ibnu Taimiyah, karena sama-sama wajib, kedudukan zakat sama dengan pajak. Karena sama, zakat pun mesti dikelola sama seriusnya. Pajak difiskalkan, zakat pun sebaiknya begitu.

Pajak diambil tahunan, zakat pun demikian. Pajak untuk pembangunan satu tahun, zakat demi fakir miskin setahun. Negara baru perhatian pada pajak, saatnya zakat ditimang-timang.

Bila zakat difiskalkan, mana yang lebih tepat menangani, Depag, Depsos, Menko Kesra, atau Depkeu? Dari sederet alternatif, agaknya Depkeu lebih beralasan sebab pajak dihimpun dan dikelola Depkeu.

Untuk mengelola utang saja, Depkeu mengangkat Direktur Pengelolaan Utang. Masa untuk zakat yang tinggal didulang, Depkeu tak mau mengembangkan Direktorat Jenderal Zakat?

Menkeu pernah tak percaya bahwa zakat bisa mencapai triliunan. Sementara, dalam kalkulasi saya, potensi zakat bisa terhimpun Rp 32 triliun/tahun. Itu di luar infak dan wakaf.

Banyak manfaat bila zakat dikelola Depkeu. Pertama, sumber devisa negara tetap terkontrol dalam satu pintu. Kedua, dalam penghimpunan zakat, seluruh kantor pajak di Indonesia dapat digunakan. Ini bahkan pernah ditawarkan pada saya saat Hadi Purnomo menjabat Dirjen Pajak.

Ketiga, zakat akan ditangani oleh ahli-ahli keuangan. Ini akhirnya memicu manfaat keempat, yakni lahirnya jurusan baru tentang perzakatan di perguruan tinggi. Kelima, zakat sebagai pengurang pajak tidak lagi jadi utopia sebab pengelolaan zakat sudah di Depkeu.

Keenam departemen lain yang menangani kemiskinan, akhirnya pun dapat jatah zakat. Ketujuh, dalam distribusi dan pendayagunaan zakat, berbagai lembaga yang ada di masyarakat khususnya LAZ tetap bisa eksis. LAZ tak lagi perlu bermarketing karena sudah disosialisasi negara. Tinggal LAZ harus mengembangkan program untuk pemberdayaan kemiskinan.

Kelemahan filantropi
Filantropi memang berbeda dengan fiskal. Strategi filantropi menekankan pada kegiatannya, entah program sosial atau pemberdayaan. Namun, strategi fiskal mengutamakan kebijakan.

CSR (Corporate Social Responsibility) pun begitu. Sesungguhnya inti CSR bukan terletak pada kegiatan community development, melainkan pada tingkah laku bisnis perusahaan. Apakah praktik bisnisnya merugikan pihak lain atau tidak? Maka inti penanggulangan kemiskinan bukan pada kegiatan sosialnya, melainkan pada kebijakan negara. Kebijakan seperti apa? Tentu bukan hanya yang tak merugikan, bahkan jelas untuk kesejahteraan bangsa. Dalam konteks kebijakan ini, kegiatan filantropi jadi lebih eksis.

Kini bola di pemerintah. Pilih filantropi atau fiskal. Filantropi berangkat dari kedermawanan perorangan, sedang fiskal bertolak dari kebijakan negara. Tak bisa dimungkiri, kemiskinan di Indonesia struktural sifatnya.

Kemiskinan akibat berbagai kebijakan, ekspansi bisnis dan acuhnya masyarakat. Karenanya, kemiskinan struktural tak bisa dilawan dengan filantropi. Kemiskinan akibat kebijakan harus dibasmi dengan kebijakan pula.

Negara mesti bertanggung jawab. Jika praktik bisnis merugikan banyak pihak terutama masyarakat, negara harus membenahi dan mengadilinya. Bila ada pihak yang merugikan masyarakat, pengadilan di garda terdepan untuk menuntut.

Bila sekawanan asing hendak melahap aset bangsa, negara harus mencegahnya. Namun, jika justru kebijakan negara merugikan bangsa, kepada siapa lagi rakyat harus mengadu?

Ikhtisar:
– Perlu penanganan zakat yang lebih terarah dan berhasil guna.
– Pemerintah memegang peran dalam sistem pengelolaan dana zakat yang bertanggung jawab.

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.